Beranda blog Halaman 25

Tangis, Tawuran, dan Tiket ke Barak: Cerita Haru 45 Siswa yang ‘Naik Pangkat’ ke Rindam

Pendidikan karakter semi militer siswa Jawa Barat
Foto: tribunnews.com

Suarasubang.comPagi itu, matahari baru saja naik—tapi suasana di Markas Kodim 0619 Purwakarta sudah terasa seperti adegan film drama keluarga. Alih-alih suara tepuk tangan dan peluit keberangkatan, yang terdengar justru isak tangis, pelukan erat, dan tatapan haru penuh doa. Bukan, ini bukan adegan perpisahan di stasiun kereta. Ini kisah nyata: 45 siswa SMA dari Purwakarta, Subang, dan Karawang bersiap ‘naik pangkat’ ke barak militer Rindam Bandung.

Program ini bukan sembarang kemah pramuka. Ini adalah Program Pendidikan Berkarakter Semi Militer ala Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Tak main-main, para peserta adalah remaja-remaja tangguh dengan ‘CV’ kenakalan yang beragam: dari bolos sekolah, hobi begadang, sampai langganan tawuran.

“Senang sih, biar anak jadi lebih baik, disiplin. Tapi sedih juga, tiga minggu bukan waktu yang sebentar,” tutur Caswati, seorang ibu dari Subang, sambil menyeka air mata yang lebih deras dari hujan awal musim.

Satu lagi testimoni bikin dada mencelos datang dari Cicih, ibu asal Purwakarta. “Waktu awal daftar karena emosi, tapi pas anak mau berangkat rasanya sedih juga. Tapi saya berharap sepulang dari sana, dia berubah. Selama ini susah bangun, suka begadang, merokok. Ya, walaupun nakal, tetap anak saya.”

Bupati Purwakarta, Saepul Bahri Binzein alias Om Zein, menjelaskan bahwa program ini bukan open trip bebas booking. Seleksinya ketat, Bro! “Purwakarta menyumbang 19 siswa, sisanya dari Subang dan Karawang. Banyak yang daftar, tapi harus seleksi ketat. Kami pastikan siswa dan orang tuanya benar-benar siap, baru kita kirim ke Rindam,” ujar Om Zein dengan gaya khasnya yang tenang tapi tegas.

Tapi, seperti kata pepatah, “tak ada sinetron tanpa konflik.” Langkah Dedi Mulyadi ini menuai pro-kontra. Salah satunya datang dari Adhel Setiawan, orang tua siswa asal Kabupaten Bekasi yang mendatangi Bareskrim Polri di Jakarta Selatan, Kamis (5/6/2025).

“Kami memasukkan (aduan) ke Bareskrim mengenai unsur-unsur pidana terkait dengan kebijakan Dedi Mulyadi,” ucap Adhel kepada awak media, sambil menenteng barang bukti seperti detektif yang tak main-main.

Adhel menilai, kebijakan ini melanggar Pasal 76 H UU Perlindungan Anak, yang melarang keterlibatan anak dalam kegiatan militer. “Itu kan jelas-jelas melarang pelibatan anak-anak untuk kegiatan militer,” sebutnya lugas.

Ia juga menganggap bahwa kebijakan Dedi tak punya payung hukum yang jelas. “Jadi Dedi Mulyadi ini kami anggap melaksanakan negara kekuasaan, bukan negara hukum, semau-mau dia aja,” lanjut Adhel dengan nada yang bisa bikin meja rapat bergetar.

Sementara ini, pihak pelapor masih akan kembali ke Bareskrim untuk melengkapi berkas. Kita tunggu saja episode selanjutnya—siapa tahu bakal ada “sidang keliling” atau “remedial undang-undang.”

Yang jelas, antara barak dan barikade hukum, kisah ini menyisakan banyak pelajaran—dan tentu saja, air mata bercampur harapan dari para orang tua yang meyakini bahwa perubahan tak selamanya datang lewat nasehat… kadang lewat sepatu lars dan barak latihan.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Tangis dan Harapan Orang Tua Lepas Siswa Asal Purwakarta, Subang, dan Karawang ke Barak Militer.

Jalan Kampung Serasa Tol: Lembur Pakuan Subang Diserbu Wisatawan!

Lembur Pakuan Subang dipadati wisatawan
Foto: Genmilenial.id

SUBANG – Kalau biasanya jalan kampung cukup lengang untuk sekadar gowes atau jalan santai sambil ngobrol sama kambing tetangga, lain cerita dengan jalan masuk ke Lembur Pakuan Subang!

Di akhir pekan dan hari libur, kawasan ini berubah bak terminal wisata dadakan—penuh sesak oleh para pelancong dari berbagai penjuru.

Fenomena ini bukan sulap, bukan sihir. Melainkan buah manis dari kerja keras sang tokoh Sunda yang tak pernah kehabisan jurus ngatur alam: Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi KDM.

Beliau membikin Lembur Pakuan jadi taman nostalgia sekaligus destinasi healing yang ngasih vibe adem plus bonus Instagramable. Jadi jangan heran kalau yang datang bukan cuma warga sekitar, tapi juga pelancong seantero Tatar Sunda.

Minggu, 8 Juni 2025 lalu, jalan masuk ke Lembur Pakuan mendadak mirip arena balap kereta mini. Satlantas Polres Subang dan Dishub Subang langsung turun tangan. Para petugas sibuk mengatur lalu lintas agar kendaraan tak saling sikut di jalan yang sejatinya hanya cukup untuk dua bajaj saling sapa. Mereka tak hanya sibuk di satu titik, tapi juga sampai di spot parkir yang kini ditata ulang untuk menyambut lautan kendaraan.

Dan karena pengunjung terus berdatangan seperti air zam-zam yang tak pernah kering, pihak pengelola pun memberlakukan Car Free Day (CFD) di sebagian jalan kampung. Yup, jalan kampung pun sekarang punya CFD! Semua demi kenyamanan para wisatawan dan keselamatan dedek-dedek yang mau jajan cilok di pinggir jalan.

Unggahan media sosial pun ramai jadi saksi. “Luar biasa, hari Minggu ini Lembur Pakuan diserbu pengunjung dari berbagai daerah, bahkan ada yang dari Jawa Barat,” ujar akun YouTube @nuansaalamdesa87.

Bukan hanya satu netizen, deretan konten serupa juga berseliweran, menyampaikan kabar padatnya pengunjung yang haus akan suasana alam yang tenang tapi tetap hype.

Namun di balik kemacetan ini, terselip rezeki digital! Para penggiat konten media sosial kini punya ladang baru untuk bikin vlog, reels, dan konten cinematic bertema “macet tapi bahagia”.

Lembur Pakuan kini bukan cuma surga healing, tapi juga jadi panggung bagi kreator konten yang ingin membidik algoritma sambil piknik.

Berita ini telah dimuat berdasarkan sumber dari artikel berjudul “Jalan Kampung tapi Macet! Gerbang Masuk Lembur Pakuan Subang Dipadati Pengunjung dari Berbagai Daerah Subang tourism” yang dapat dibaca selengkapnya melalui tautan berikut: https://subang.pikiran-rakyat.com/subang-raya/pr-659402371/jalan-kampung-tapi-macet-gerbang-masuk-lembur-pakuan-subang-dipadati-pengunjung-dari-berbagai-daerah?page=2

Pujasera Subang: Antara Aroma Sate dan Bayang-Bayang Mall

Pujasera Subang
Foto: tintahijau.com

Subang – Di tengah keramaian Subang yang mulai padat dan digital, ada satu tempat yang masih menawarkan rasa nostalgia, aroma bakso, sate, dan semilir kenangan masa kecil: Pasar Pujasera Subang.

Tempat ini bukan sekadar deretan lapak makanan—ia seperti halaman belakang rumah warga Subang. Tempat cinta pertama bersemi di antara kepulan asap sate, dan tempat dompet tipis tetap bisa merasakan nikmatnya hidup.

Di sana, suara tawa anak-anak bersaing dengan seruan pedagang. Aroma gorengan menggoda iman diet, dan lampu-lampu temaram malam memantul manis di atas meja plastik penuh cerita.

Tapi suasana syahdu itu mendadak berubah getir ketika kabar pembangunan Pesona Mall Subang muncul ke permukaan. Mall raksasa dengan hotel bintang, convention centre, dan lahan parkir luas dikabarkan akan berdiri di atas tanah yang sama.

Pujasera yang mulai menggeliat sejak awal 2000-an ini awalnya adalah rumah besar bagi pedagang kaki lima yang ingin berdagang dengan lebih tertib dan rapi. Letaknya sangat strategis—dekat kantor pemerintahan, sekolah, dan pusat kota. Dalam waktu singkat, ia jadi primadona.

Dari tikar lusuh hingga kios semi permanen, dari gerobak kayu hingga spanduk warung, semua tumbuh bersama Pujasera. Generasi Subang melewati masa remaja mereka di bangku kayu dekat penjual jagung bakar, atau curi-curi pandang sambil beli es campur.

Tak ada kasta di Pujasera. Pejabat duduk satu meja dengan tukang ojek, karyawan bersalaman dengan seniman, dan pelajar nyengir bareng pedagang. Itulah Pujasera, ruang sosial tanpa pembatas dan tanpa kata sandi.

Presiden pun tak tahan pesonanya. Pada Desember 2022, Presiden Joko Widodo berkunjung ke Pujasera, membagikan bantuan langsung ke para pedagang. Bahkan sempat main lato-lato bareng anak-anak. Momen itu viral, membuat semua netizen berseru: “Lucu bener, Pak!”

Tak hanya Jokowi, musisi Anji juga pernah tiba-tiba muncul dan menggelar “Panggung Dadakan” pada Februari 2020. Di tengah keramaian, lagu-lagu cinta pun melayang, bikin suasana jadi mirip konser mini dengan aroma soto dan kopi hitam.

Namun Pujasera tak selalu wangi harum bakso. Pandemi sempat bikin sunyi. Banyak pedagang gulung tikar. Tapi tahun 2024 hingga pertengahan 2025, Pujasera bangkit seperti sinetron episode baru: penuh harapan.

“Sekarang mah rame terus. Lebih hidup lah ketimbang waktu covid dulu,” kata Dini (34), warga Subang yang masa kecilnya dihiasi jajanan Pujasera. Ia kini membawa anaknya, melanjutkan tradisi yang nyaris hilang.

Ada puluhan pedagang aktif kini. Mayoritas UMKM kuliner tradisional yang tak punya cukup modal untuk menyewa ruko atau nyemplung ke dunia jualan online. Pujasera adalah rumah, sekaligus napas hidup mereka.

“Alhamdulillah, omzet naik lagi sekarang. Tapi kami juga khawatir… soalnya katanya mau dibangun mall,” ucap Pak Yana (51), pedagang veteran yang sudah 15 tahun jualan di situ.

Rencana mall ini dipublikasikan tahun 2024. Dengan luas 78.215 meter persegi, gedung lima lantai, hotel tujuh lantai, dan parkiran luas—konsepnya megah. Tapi pertanyaannya: di mana tempat untuk rakyat kecil?

Pemerintah bahkan sempat membentuk Tim Koordinasi Relokasi Pedagang. Tapi gelombang protes datang seperti musim hujan. Warga merasa tak dilibatkan. Pedagang resah kehilangan lapak. Aktivis budaya cemas kehilangan ruh kota.

Dan puncaknya terjadi pada 13 Juni 2025: SK relokasi dicabut. Tim relokasi dibubarkan. Sekda Subang Asep Nurani menyebut, salah satu alasannya adalah karena mempertimbangkan dinamika sosial dan penolakan publik.

Kini, nasib mall masih menggantung. Belum ada pembangunan fisik. Sementara pedagang tetap berjualan sambil waswas.

“Kalau mau bangun mall ya silakan. Tapi jangan sampai Pujasera hilang. Kenapa nggak digabung aja? Ada zona UMKM-nya, ada ruang rakyatnya,” kata Rino (30), pelanggan setia asal Pagaden.

Banyak pakar tata kota menyuarakan hal serupa. Pembangunan seharusnya inklusif—milik semua kalangan, bukan hanya menara kaca dan merek besar.

Memang, Pujasera hari ini belum sempurna. Masih ada PR soal kebersihan, pencahayaan, dan parkiran. Tapi nilai sosialnya tak ternilai. Ia bukan sekadar pasar, tapi ruang hidup dan tempat kenangan tumbuh.

Karena membangun kota tak cukup hanya dengan beton dan baja, tapi juga dengan empati, kenangan, dan keberpihakan.

Berita telah tayang di portal berita tintahijau.com dengan judul asli “Pujasera Subang, Romantisme Masa Lalu dan Wacana Pembangunan Mall”

Tabrakan Adu Banteng di Lembang, Mahasiswa Subang Tewas Tragis

Kecelakaan motor di Lembang
Foto: ilustrasi

Suarasubang.com – Malam Minggu tak selalu indah bagi semua orang. Di Jalan Raya Lembang, tepatnya di Desa Gudangkahuripan, suara mesin motor mendadak berubah jadi dentuman maut. Dua motor adu kuat, tapi nyawa seorang mahasiswa asal Subang justru melayang.

Kejadian ini berlangsung pada Minggu malam (8/6/2025), pukul 22.45 WIB. Langit Lembang mungkin sedang dingin, tapi suasana berubah panas setelah Honda Beat bernomor D 3367 SAE dan Suzuki Spin T 4618 UJ saling mencium besi dalam kecelakaan mengerikan.

“Korban satu meninggal dunia dan tiga luka ringan,” ujar Kanit Gakkum Satlantas Polres Cimahi, Ipda Yusup Gustiana, saat dikonfirmasi pada Senin (9/6/2025). Pernyataan yang terdengar formal, tapi di baliknya menyimpan kabar duka yang menusuk.

Korban tewas adalah Dabit Akhdan Firjatulloh Santosa, mahasiswa 20 tahun asal Subang. Ia saat itu sedang berboncengan dengan kawannya, Anjril Akbar Waluyo. Mereka melaju dari arah Kota Bandung menuju Lembang, mungkin untuk mencari udara segar, tapi yang didapat justru petaka.

Dari arah berlawanan, muncul Suzuki Spin yang dikemudikan Didi Juhadi, pria 42 tahun warga sekitar, membonceng M Rifki Aulia Rosyid (20). Laju mereka pun tak bisa diselamatkan dari pertemuan tragis itu.

Menurut saksi, motor Honda Beat yang ditunggangi Dabit diduga terlalu mengambil jalur kanan. Bukan jalur cinta, tapi jalur maut. “Sepeda motor Honda Beat terlalu ke kanan sehingga tabrakan tidak bisa dihindari dengan kendaraan dari arah berlawanan yang dikemudikan Didi Juhadi,” jelas Ipda Yusup.

Akibat benturan yang bikin ngeri itu, Dabit mengalami luka berat. Ia sempat dibawa menuju RSUD Lembang, namun takdir berkata lain. Ia dinyatakan meninggal dunia dalam perjalanan. Tiga korban lainnya hanya luka ringan, tapi trauma mungkin lebih dari itu.

“Yang luka ringan langsung dirujuk ke RS Advent Bandung untuk mendapatkan penanganan medis,” tambah Yusup, menutup kronologi yang getir ini.

Berita ini telah dimuat berdasarkan informasi dari sumber: inews.id dengan judul asli “Kecelakaan Maut 2 Motor Bertabrakan di Lembang, Mahasiswa asal Subang Tewas”.

Guru Tak Perlu Lagi 24 Jam Tatap Muka, Pak Menteri: “Cukup 16 JP Saja, Sisanya untuk Hidup!”

jam mengajar guru dikurangi
Foto: melintas.id

suarasubang.com – Wajah-wajah lelah para guru tampaknya akan segera berubah jadi cerah ceria. Pasalnya, ada angin segar yang datang langsung dari Sidang DPR RI Komisi X, Rabu, 23 April 2025. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Muti, resmi mengumumkan wacana pengurangan jam mengajar guru. Dari yang sebelumnya 24 jam pelajaran (JP) di kelas setiap pekan, kini cukup 16 JP saja. Lho, serius? Iya, sungguh!

“Guru tidak harus mengajar 24 JP dalam seminggu,” tegas Pak Menteri, tanpa sedikit pun ragu, saat menjelaskan rencananya dalam sidang tersebut.

Selama ini, guru wajib nongol di depan kelas selama 24 JP tiap minggu. Kalau lebih dari itu, baru deh dapat bonus ala-ala, sesuai kebijakan sekolah masing-masing. Tapi kalau kurang? Ya siap-siap disuruh ngisi formulir tiga lembar dan ditatap tajam kepala sekolah.

Masalahnya, jam tatap muka itu baru satu bagian dari drama kehidupan guru. Di balik layar, mereka juga harus jadi konselor dadakan buat siswa yang sedang “galau maksimal”, belum lagi tumpukan administrasi yang tak kenal ampun. Hasilnya? Waktu untuk eksplorasi dan pengembangan diri guru tinggal sisa-sisa energi menjelang magrib.

Nah, di sinilah Pak Menteri datang membawa kabar baik bak kurir Shopee tengah malam. Menurut beliau, guru cukup mengajar 16 JP saja. Sisanya? Bisa dipakai untuk membimbing siswa bermasalah, menyusun modul, hingga upgrade skill lewat pelatihan. Bisa juga, ya, sekadar tarik napas sambil minum teh di ruang guru tanpa dikejar deadline.

“Waktu 16 JP sudah cukup efektif jika memang benar-benar digunakan untuk interaksi pembelajaran bersama siswa,” lanjut Pak Menteri dengan nada penuh keyakinan.

Membayangkan guru yang harus mengajar 24 JP, ditambah jam tambahan 8 JP, dan masih harus bikin administrasi, rasanya seperti diminta menari balet sambil membawa beban di pundak. Nggak heran kalau banyak guru yang kelelahan dan tak sempat lagi mengisi bahan bakar kompetensinya.

Kebijakan ini juga bisa jadi oase di padang pasir bagi guru-guru peserta PPG yang terganjal kode 02 akibat kekurangan jam mengajar. Dengan hanya 16 JP wajib, 8 JP lainnya bisa digunakan untuk urusan produktif lain. Menulis modul ajar? Bisa. Bimbingan siswa? Monggo. Ikut pelatihan pengembangan diri? Silakan!

Bukan cuma meringankan beban, kebijakan ini juga membuka jalan bagi pembelajaran sosial emosional yang bukan cuma jadi pajangan di slide presentasi. Kini, para guru bisa benar-benar hadir — bukan hanya fisiknya, tapi juga hatinya.

Berita ini telah dimuat berdasarkan sumber dari melintas.id dengan judul asli “Kabar Gembira Bagi Guru: Mendikdasmen Abdul Muti Mengumumkan Jam Mengajar Guru Terbaru Dari 24 JP Jadi Segini!”

Jembatan Jesse Park: Si Tua yang Dilupakan, Padahal Penuh Cerita!

Jembatan Jesse Park Subang
Foto: tintahijau.com

SUBANG – Di tengah riuh rendah Subang yang semakin ramai dengan beton dan bangunan menjulang, berdirilah sosok tua yang masih setia: Jembatan Jesse Park. Usianya? Sudah lebih dari delapan dekade! Tapi jangan salah, jembatan ini bukan sekadar tumpukan beton tua—dia saksi hidup yang diam-diam mencatat perjalanan kota dari masa ke masa.

Jembatan ini menghubungkan Jl. Wangsa Gofarana dengan Jl. Jendral A. Yani—dua jalur yang jadi urat nadi pergerakan warga Subang. Setiap hari, motor dan pejalan kaki melintasinya tanpa sadar mereka sedang berjalan di atas lembaran sejarah. Iya, sejarah—bukan sekadar cor-coran!

Kembali ke masa kolonial, Jesse Park adalah taman kota yang teduh dan asri, tempat warga Subang nongkrong santai sembari menatap air sungai Cipanggilingan yang mengalir tenang. Nah, jembatan ini dulunya adalah bagian dari kawasan taman itu. Kini taman tinggal kenangan, tapi jembatannya? Masih tegar berdiri, walau kondisinya bikin miris.

Salah satu elemen paling ikonik dari Jembatan Jesse Park adalah dua tiang lampu besi kuno. Masih kokoh berdiri, menantang zaman—seperti duo veteran yang enggan pensiun. Tiang-tiang ini dipercaya asli dari era awal pembangunan. Bukan cuma jadi penerang, tapi penjaga memori kota.

Sayangnya, kondisi di sekitar jembatan sekarang lebih mirip lokasi syuting film horor ketimbang destinasi sejarah. Jalan berlubang, genangan air setia hadir tiap hujan, dan semak belukar tumbuh bak hutan mini. Kalau jembatan ini bisa ngomong, mungkin dia sudah teriak, “Tolong aku, dong!”

Namun, harapan belum padam. Beberapa warga, terutama dari komunitas Paguyuban Sadulur Enhar, mulai bergerak. Mereka rajin bersih-bersih, mengecat ulang, dan mengajak warga peduli. “Jembatan Jesse Park bukan sekadar penghubung jalan, tapi penghubung antara masa lalu dan masa depan. Kalau kita biarkan rusak, berarti kita biarkan sejarah kita hilang,” ujar Pramono, salah satu warga dengan semangat membara.

Warga juga berharap pemerintah turun tangan, bukan hanya mengelus-elus rencana, tapi benar-benar memperbaiki jalan, merawat taman kota, dan menata aliran Kali Cipanggilingan agar kembali cantik dipandang mata.

Bayangkan jika kawasan Jesse Park ini disulap jadi destinasi wisata sejarah. Anak-anak bisa belajar sejarah, orang tua bisa nostalgia, dan Instagramers bisa… ya, foto-foto pastinya. Lengkapi dengan papan informasi, lampu yang proper, dan tempat duduk nyaman—boom! Jadilah taman sejarah kebanggaan Subang.

Toh, merawat Jembatan Jesse Park bukan cuma urusan infrastruktur. Ini soal merawat identitas. Soal menunjukkan bahwa Subang tak melupakan akarnya. Jangan biarkan jembatan berusia 80 tahun lebih ini pelan-pelan dilupakan. Jangan biarkan sejarah dibungkam semak liar dan jalan berlubang.

Sudah saatnya Subang menyapa kembali warisannya yang diam tapi berbicara banyak. Karena, hei… siapa lagi yang akan peduli kalau bukan kita?

Berita ini bersumber dari tintahijau.com dengan judul asli “Jembatan Jesse Park Subang, Saksi Bisu Sejarah Kota Subang Era Belanda yang Butuh Perhatian Serius”

“Tepuk Tangan Setengah Hati” untuk Kang Ray: Gerindra Komentari 100 Hari Pemerintahan Subang

Kritik 100 hari kerja Bupati Subang
Foto: Kritik 100 hari kerja Bupati Subang

SUBANG – Dalam sebuah unggahan yang lebih mirip stand-up comedy politik ketimbang siaran pers biasa, akun resmi Partai Gerindra Subang sukses bikin publik melongo dan mikir—sambil senyum kecut. Mereka mengulas 100 hari kerja duet Bupati Reynaldi Putra dan Wakilnya Agus Masykur… dengan gaya yang, yah, cukup “nggigit tapi manis.”

Dalam video yang tayang di Instagram pada Sabtu (7/6/2025), Gerindra menyajikan narasi penuh ironi. “Tepuk tangan setengah hati,” katanya, untuk Kang Ray—sapaan akrab Bupati Reynaldi—yang katanya rajin turun ke lapangan, wara-wiri ke 253 desa dan kelurahan, tanpa protokoler rempong.

“Langsung dengerin aspirasi warga tanpa perantara, rajin live TikTok, hadir terus. Dua kali seminggu katanya, biar makin dekat sama rakyat. ASN yang malas kerja? Bye! Langsung ditundak,” begitu narasi kocak namun nyentil dalam video tersebut. Jalan mulai dibenerin, kios mulai ditata, warga diajak ngobrol lewat program Nganjang Ka Warga. Sekilas, Kang Ray ini seperti superhero lokal yang baru naik daun.

Namun, pujian ini tak lama kemudian berubah jadi “tamparan halus”—yang bikin meringis. Narasi dilanjutkan, “Masih ada PR nih Pak Bupati, jangan buru-buru senang dulu. Soalnya kepuasan kinerja bupati itu harusnya sejalan sama kerja OPD-nya kan?”

Nah, inilah bagian serunya. Gerindra menyebut beberapa zona merah di balik euforia 100 hari Kang Ray:

  • Pelayanan publik? Belum merata, terutama di puskesmas dan kecamatan.
  • Program pelatihan Disnakertrans yang sempat viral? Masih belum ngegas juga.
  • Anggaran Dinas PU? Katanya besar, tapi penyerapannya masih malu-malu.
  • Pengangguran? Tetap tinggi, walau pabrik-pabrik udah mulai kepanasan.
  • Dana BOS? “Bikin geleng-geleng kepala,” kata narasi, sambil menyeruput kopi mungkin.

Dan puncaknya, Rumah Sakit Ciereng. Lagi-lagi soal “pelayanan dan pelayanan lagi.” Keluhan warga masih berseliweran di komentar, warung kopi, bahkan di selasar rumah sakit.

Di akhir video, Gerindra menyampaikan pesan pamungkas: “Kang Ray udah on the track, tapi mesin di bawahnya juga harus ikut. Nggak bisa Subang 3 sendirian.” Sebuah sindiran manis untuk para OPD yang tampaknya masih pemanasan… atau malah belum nyalain mesin?

Sampai artikel ini ditulis, belum ada respons resmi dari pihak Pemkab Subang. Tapi satu hal jelas: meskipun semangat Kang Ray diapresiasi, rakyat masih menanti kinerja timnya yang lebih ‘ngegas’ dan nggak cuma jadi penonton di tribun birokrasi.

Berita ini telah dimuat berdasarkan sumber dari tintahijau.com dengan judul asli “Gerindra Sentil 100 Hari Kerja Bupati Subang: ‘Kang Ray On Track, Tapi Mesin di Bawah Masih Lemot’ – Defri Ardiansyah, Sabtu 7 Juni 2025.”

Radio Benpas 98,2 FM: Dari Siaran Perjuangan Jadi Bintang Digital Subang

Radio Benpas Subang
Foto: tintahijau.com

Subang – Selamat datang di frekuensi nostalgia dan inovasi, tempat di mana suara masa lalu bertemu dengan ritme masa kini—ya, inilah Radio Benpas 98,2 FM Subang, radio yang tak hanya menua dengan anggun, tapi juga menari di atas gelombang digital!

Sudah sejak 21 Juli 1966, Radio Benpas jadi teman akrab warga Subang. Awalnya sih bukan seperti sekarang—radio ini dulunya bernama Radio Amatir Kodim 0605 Subang. Tapi jangan salah, meski berstatus “amatir”, semangatnya sudah seperti penyiar veteran!

Nama “Benpas” sendiri bukan sembarang singkatan. Benteng Pancasila, begitu asal usulnya, lahir di masa rawan pasca G30S/PKI. Bayangkan saja, radio ini jadi corong TNI dan pemerintah untuk mengobarkan semangat nasionalisme dan menanamkan nilai-nilai Pancasila. Jadi, sebelum viral itu jadi tujuan, mereka sudah sibuk menyebarkan ideologi negara.

Tapi Benpas bukan tipe radio yang stuck di masa lalu. Ia berkembang seperti anak muda yang update, tapi tetap sayang orang tua. Kini, Radio Benpas tampil kekinian lewat siaran streaming, aplikasi mobile, media sosial, hingga YouTube. Jadi buat yang alergi sama radio jadul, tenang… Benpas sudah masuk zaman digital, kok!

Setiap hari, gelombang udara Benpas penuh warna. Dari berita lokal yang panasnya bisa menyaingi gosip komplek, hingga talkshow edukatif yang bikin otak berisi tapi tetap asik. Ada juga program “Nyunda Heula” yang menyuguhkan kearifan lokal khas Sunda—karena Subang tanpa bahasa Sunda tuh ibarat nasi tanpa sambal, hambar!

Tak hanya itu, Benpas juga siarkan kegiatan bupati, rapat DPRD, dan info pelayanan publik. Masyarakat yang belum akrab dengan sinyal internet tetap bisa update info kekinian lewat siaran ini. Jadi, siapa bilang radio kalah sama WiFi?

Yang bikin makin keren, Radio Benpas bukan cuma jago cuap-cuap. Mereka juga aktif di dunia nyata! Mulai dari cek kesehatan gratis, pelatihan penyiaran, lomba podcast, hingga workshop literasi media. Istilahnya, dari udara ke daratan, mereka tetap on fire!

Berkantor di Jl. Letjen S. Parman No.5, Subang, Radio Benpas kini tak cuma sekadar pemancar suara, tapi simbol Subang itu sendiri. Di tengah keramaian konten medsos, Benpas hadir seperti wedang jahe di malam hujan—menghangatkan, menyehatkan, dan bikin tenang.

Mau tahu lebih lanjut atau sekadar nyimak suara khas penyiar Benpas? Langsung saja mampir ke aplikasi Benpas 98.2 FM di Play Store, atau follow mereka di Instagram @radiobenpassubang. Siapa tahu, kamu ketagihan dengerin dan malah jadi penyiar dadakan!

Berita ini dimuat berdasarkan sumber dari Tintahijau.com berjudul “Radio Benpas 98,2 FM Subang, Dari Suara Perjuangan ke Media Informasi Modern”.
Redaksi, Sabtu, 7 Juni 2025

Tonggoh Brutal Cagak Ekspres: Saat Atlet Sepeda Subang Menyusuri Jalan Leucir nan Menantang!

Tonggoh Brutal Cagak Ekspres Subang
Foto: lampusatu.com

SUBANG – Sabtu pagi yang biasanya tenang di Subang, tiba-tiba berubah jadi lintasan penuh semangat dan adrenalin. Bukan karena lomba balap kerbau, bukan juga karena kirab budaya. Tapi karena ajang “Tonggoh Brutal Cagak Ekspres”, latihan gabungan (latgab) dari Cabang Olahraga Ikatan Sepeda Sport Indonesia (ISSI) Kabupaten Subang yang berkolaborasi dengan komunitas balap sepeda setempat.

Event yang digelar tanggal 7 Juni 2025 ini sukses membuat puluhan pesepeda, dari yang junior sampai senior, berkeringat manis sambil memerah pedal sepanjang 15 kilometer. Dimulai dari Jalan Raya Alun-alun Subang dan berakhir heroik di depan Kantor Kecamatan Jalancagak. Sebuah rute yang bukan hanya panjang, tapi juga punya tanjakan manja dan turunan curam yang bikin betis cenat-cenut.

Dan yang bikin suasana makin nyess di hati, jalanan tempat para atlet ini beraksi katanya “leucir” alias mulus licin tanpa jebakan lubang! “Hatur nuhun pisan kepada Pak Gubernur Dedi Mulyadi (KDM) dan Pak Bupati Subang (Kang Rey). Jalannya bagus dan leucir. Tapi ada juga yang retak-retak, mohon disegerakan tambalnya,” ujar Pupun Purnama, Ketua ISSI Subang dengan nada syahdu namun sarat makna.

Peserta tak hanya gowes santai, mereka berpacu dengan waktu, menantang diri dan jalur yang kadang ramah kadang jahat. Trek lurus, naik, turun, berbelok tajam – ibarat jalan cinta yang penuh rintangan, tapi tetap ditempuh dengan semangat juang.

Tak hanya sekadar latihan, menurut Pupun, ajang ini akan menjadi agenda rutin. Bukan cuma buat menjaga silaturahmi, tapi juga jadi arena pencarian bibit unggul atlet balap sepeda Subang untuk Porprov 2026. “Mental juara itu harus dilatih sejak dari pedal pertama,” katanya sambil membetulkan helm dengan gaya khas atlet sepeda sejati.

Dan siapa juaranya? Nah ini dia, dalam kelas men U-19 (Junior), sang juara adalah Issa Abdulahns, disusul Arif Nugraha. Di kelas Open U-19 (semua jenis sepeda), podium pertama dihuni oleh Denis Darmawan, kedua Uzhtomz, dan tempat ketiga Septian Mugi.

Sebuah gelaran yang bukan hanya bikin Subang tambah semarak, tapi juga jadi bukti bahwa semangat bersepeda dan semangat berprestasi bisa menyatu indah di jalur leucir Jalancagak.

Berita ini telah dimuat berdasarkan sumber dari lampusatu.com dengan judul asli “Jalannya ‘Leucir’ Dilintasi Peserta Balap Tonggoh Brutal Cagak Ekspres, ISSI Subang Apresiasi KDM dan Kang Rey” pada 7 Juni 2025.

DAHANA Tebar Sapi dan Domba, Warga Subang Kebagian “THR Daging” Jelang Iduladha

PT DAHANA salurkan hewan kurban

Subang — Ada aroma semangat berbagi yang menguar dari Desa Sadawarna, Subang! Jelang Hari Raya Iduladha 1446 Hijriah, PT DAHANA kembali menyalurkan hewan kurban untuk warga sekitar. Kali ini, 3 ekor sapi dan 22 ekor domba dilepas ke masyarakat. Bukan buat dijadikan peliharaan, tentu saja, tapi buat dinikmati jadi gulai, sate, dan semur khas Iduladha!

Acara penyerahan digelar pada Kamis, 5 Juni 2025, di area Nursery PT DAHANA, dan dihadiri oleh jajaran perusahaan serta para pemangku kepentingan dari Kecamatan Cibogo. Tampak hadir Manajer Komunikasi Perusahaan PT DAHANA, Yulia Hikmah, dan Ketua Majelis Kemakmuran Masjid (MKM) DAHANA, Ismail Kurbani.

Dalam sambutannya, Ismail menekankan bahwa kegiatan ini bukan hanya rutinitas tahunan, tapi juga bentuk rasa syukur dan kepedulian sosial dari keluarga besar DAHANA.

“Sebagai panitia Iduladha 1446 H Masjid DAHANA, kami mengucapkan terima kasih kepada perusahaan dan karyawan yang telah mempercayakan penyaluran hewan kurbannya kepada kami. Semoga ibadah ini diterima oleh Allah SWT dan membawa keberkahan bagi semua, baik yang memberi maupun yang menerima,” ujar Ismail dengan penuh haru.

Tak sampai di situ, PT DAHANA pun memastikan distribusi hewan kurban berlangsung tertib. Tiga ekor sapi dan 22 domba tersebut akan dibagikan kepada masyarakat Desa Sadawarna dan sekitarnya. Lokasi penyembelihannya? Di sekitar Masjid DAHANA, tentu saja. Jadi jangan heran kalau hari itu suasana penuh semangat, tak kalah meriah dari pasar tumpah.

Yulia Hikmah turut menyampaikan bahwa kurban ini merupakan bagian dari komitmen tanggung jawab sosial perusahaan.

“Penyerahan hewan kurban ini adalah bentuk kepedulian kami kepada masyarakat yang selama ini telah mendukung keberlangsungan operasional perusahaan di Subang. Semoga membawa manfaat, mempererat tali silaturahmi, dan menjadi berkah bagi kita semua,” tutur Yulia.

Apresiasi pun datang dari berbagai penjuru. Kepala Desa Sadawarna, Nining Ratnaningsih, mewakili unsur Muspika Cibogo dan masyarakat, mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada PT DAHANA atas konsistensi berbagi kepada warga setiap tahunnya. Ia juga berharap perusahaan terus berkembang dan sukses.

Tak ketinggalan, Letkol Sus. Aan Suhendar, Kepala Pembinaan Mental (Kabintal) Lanud Suryadarma, memberikan dukungan penuh.

“Semoga bantuan hewan kurban dari DAHANA dapat membawa keberkahan bagi masyarakat dalam menyambut Hari Raya Iduladha 1446 H,” pungkas Letkol Aan.

Jadi, kalau tahun ini warga Desa Sadawarna tersenyum lebih lebar, bisa jadi bukan karena diskon di pasar, tapi karena berkah dari PT DAHANA yang konsisten menebar manfaat. Semoga berkah kurban ini menyebar seperti aroma sate di pagi Iduladha!

Berita ini telah dimuat berdasarkan informasi dari KOTASUBANG.com, 6 Juni 2025.

Recent Posts