Beranda Berita Nasional Sejarah Panggilan Aden di Tatar Sunda, Pernah Dikecam Para Raden

Sejarah Panggilan Aden di Tatar Sunda, Pernah Dikecam Para Raden

Penyalahgunaan-Gelar-Raden.jpg

Panggilan Aden di Tatar Sunda dalam catatan sejarah ternyata pernah dikecam oleh para Raden. Pada tahun 1930 banyak orang Sunda bergelar Raden memprotes orang-orang yang mempergunakan titel tersebut pada rakyat kalangan menengah ke bawah (rakyat kecil). Penyalahgunaan gelar Raden ini membuat sejumlah kalangan marah.

Para Raden sungguhan marah dan merasa diejek oleh perlakuan ini. Sebab pemberian gelar Raden bagi orang Sunda kala itu adalah praktik sakral yang penuh dengan simbol-simbol magis.

Artinya tidak sembarang orang yang bisa menyabet gelar Raden. Paling tidak gelar ini diturunkan melalui warisan leluhur. Misalnya untuk orang kaya, berpendidikan tinggi, dan pemegang jabatan luhur pada zaman kolonial, salah satunya Sentana.

Adapun rakyat kecil di pedesaan Garut misalnya, sering mempergunakan nama Raden untuk memanggil manja anak-anak kecil. Biasanya menyebut anak kecil itu dengan Aden –untuk anak laki-laki dan Nenden –untuk anak perempuan.

Baca Juga: Majalah Al-Mawaidz, Inspirasi NU Tasikmalaya Dirikan Pesantren Modern

Kedua gelar itu sebetulnya merupakan kebiasaan keluarga Raden memanggil anak-anaknya. Hal itulah yang membuat keluarga Raden di Tanah Sunda merasa terusik, terhina karena titelnya dipermainkan oleh “rakyat rendahan”.

Keluarga Raden memprotes supaya penggunaan nama Aden dan Nenden yang sering dilakukan rakyat biasa memanggil anaknya dihapuskan. Protes mereka tertoreh dalam tulisan yang dimuat surat kabar Sinar Pasoendan pada tahun 1934. Bagaimana protes keluarga Raden itu berlangsung. Berikut ulasannya.

Sejarah Panggilan Aden di Tatar Sunda dan Protes Para Raden

Catatan sejarah terkait polemik panggilan Aden di Tatar Sunda ditulis di surat kabar Sinar Pasoendan yang terbit pada hari Senin, 19 November 1934 bertajuk, “Kadedemes Koe Raden”.

Tulisan tersebut menyoroti keluarga Raden yang memprotes kebiasaan rakyat kecil memanggil anaknya dengan Aden dan Nenden mempertanyakan ulang pemberian gelar Raden itu sebenarnya untuk siapa?

BACA JUGA:  Cara Nonton Live Streaming Timnas Indonesia vs Australia Kualifikasi Piala Dunia 2026

Narasi ini nampaknya membuat pembaca sadar terutama jika si pembacanya itu adalah rakyat kecil berlagak ningrat: dengan memanggil anak-anaknya Aden dan Enden.

Dalam tulisan tersebut diungkapkan, rakyat kecil seharusnya malu mengaku-ngaku keturunan Raden, sedangkan Raden itu mewarisi harta dan intelektual yang luas ketimbang dirinya.

Kemudian di paragraf selanjutnya, tulisan para Raden itu mempertanyakan ulang lagi dengan mengutarakan opininya sebagai berikut: “sebenarnya siapa dan apakah pantas gelar Raden digunakan pada orang yang bukan Raden?”

Secara struktur Keradenan gelar tersebut memang bukan untuk gaya-gayaan saja. Titel itu adalah pertanda simbolik orang Sunda untuk mengetahui kapasitas seseorang berdasarkan keturunan, pendidikan, dan jabatan.

Adapun lapisan sosial yang berhak menerima gelar ini antara lain terdiri dari para pemimpin daerah (regent- Bupati), Sentana (Intelektual), Pegawai Negeri Zaman Kolonial, Ningrat, dan keturunan-keturunan priyayi daerah yang berpengaruh lainnya.

Pernyataan ini sebagaimana yang diungkapkan oleh surat kabar Sinar Pasoendan (1934) sebagai berikut:

“Aka ari njeboet ka boedak anjar pinanggih (boedak lemboet noe dibawa koekolotna) sok make ketjap “Eneng, Aden, atawa Nenden”. Oge ka anak batoer salemboer anoe sakira kolotna terpeladjar (Sentana) sanadjan njaho teu boga titel Raden nja kekeuh bae sok resep njeboet “Aden” ka lalaki atawa ka boedak awewe Nenden. Apes-apesna Tjetjep atawa Eulis. Leres ari noe hak mah nyaeta noe ramana boga titel Raden”.

Pernyataan di atas intinya ingin memperjelas peruntukan gelar Raden yang sebenarnya. Sebab bagi masyarakat Sunda gelar Raden tidak sembarang digunakan. Jadi bilamana ada rakyat biasa menggunakan gelar ini dianggap tidak etis dan kurang menghargai norma.

BACA JUGA:  30 Petugas Pertanian Jabar Asah Keterampilan Smart Farming di Bapeltan Cianjur

Pemilik Gelar Raden Mengapa Identik dengan Sentana

Sentana atau lapisan sosial terpelajar merupakan individu yang tergolong sebagai pemilik gelar Raden. Hal ini menarik untuk kita telusuri mengapa itu bisa terjadi?

Jika dilihat dari sudut pandang antropologi ini bisa terjadi karena orang Sunda mulai mendapatkan jalan untuk memperoleh legitimasi dengan mempergunakan gelar yang mengandung nilai Adi Luhung.

Baca Juga: Geger Bongkahan Emas di Gunung Sawal Ciamis Tahun 1963

Gelar Raden dipercaya bisa membuat seseorang berkuasa. Ini berarti gelar Raden bagi orang Sunda bertujuan untuk mengenal penguasa yang didaulat atas kemampuannya atau integritasnya. Misalnya karena pendidikan tinggi, karena keturunan ningrat, dekat dengan penguasa, tuan tanah, dan lain sebagainya.

Dalam bidang pendidikan, gelar Raden menjadi masalah karena secara tidak langsung telah mempertontonkan jarak pemisah antara anak bangsawan dan rakyat kecil.

Anak seorang bangsawan dan bergelar Raden akan mendapatkan sistem pendidikan yang bergengsi. Mereka juga bisa bergaul dengan anak-anak Belanda dan mendapatkan bahasa pengantarnya bahasa Nederlandsch. Sedangkan pelajar dari rakyat biasa sebaliknya.

Maka dari itu sebagian kelompok anti feodal kerap mengkritik penggunaan gelar Raden pada personal –keturunan ningrat dan bangsawan di daerah. Walaupun begitu, setidaknya penggunaan gelar Raden telah membuat rakyat jelata membuka mata jika tidak semua keturunan ningrat itu baik –gelar Raden hanya untuk melegitimasi kekuasaan, narsis.

Namun sebagian kelompok bangsawan bergelar Raden membantah kritikan itu. Sesama intelektual mereka memberikan pendapat bahwa karena geger penyalahgunaan penamaan Raden tahun 1930-an, paling tidak membuat rakyat sadar bahwa pemimpin lokal harus mendapat keistimewaan untuk bisa setara dengan Belanda.

BACA JUGA:  Shin Tae-Yong memanggil sebanyak 26 pemain, ini daftarnya

Sebab penampilan, garis keturunan, intelektual, dan legitimasi bisa membuat para Raden setara dengan orang Eropa. Meskipun pada kenyataannya tidak: Orang Eropa tak pernah sudi mengakui kesetaraan sosial dengan masyarakat pribumi (Inlanders).

Keluarga Raden Tidak “Goemeden”

Menurut rubrik Ti Para Sandah dalam Sinar Pasoendan (1934), terdapat ciri yang bisa mengklasifikasikan seseorang itu keturunan Raden (sungguhan) atau bukan. Antara lain untuk mengetahui hal itu bisa kita lihat melalui karakter (sifat) personalnya.

Baca Juga: Kesederhanaan Bung Hatta dan Kisah Sepatu Impian yang Tak Terbeli

Keturunan atau pemilik gelar Raden biasanya tidak pernah menyombongkan diri sendiri atau dalam bahasa Sundanya –Goemeden.

Akan tetapi sebaliknya, jika ada seseorang yang mengaku-ngaku Raden, maka sudah bisa dipastikan orang itu akan Goemeden. Menutupi segala kebohongannya dengan menggunakan narasi-narasi sombong, merendahkan orang lain, dan membuat buruk citra Raden sesungguhnya.

Pernyataan ini sebagaimana kutipan dari Sinar Pasoendan (1934) berikut ini: “Tapi sabalikna lamoen anoe ngabogaan Raden toelen keren dipake goemeden, belik loeklik teu mikeun anak dengeun diseboet “aden, tjek Etjle mah dat is ireh kadedemes teuing. Kawasna bae rek digares kawas karemes”.

Oleh sebab itu dalam catatan sejarah, keluarga Raden mengimbau supaya jangan membiasakan menggunakan panggilan Aden dan Nenden pada anak kecil (laki-laki dan perempuan). Sebab jika dibiasakan, khawatir mereka bisa menyalahgunakan sebutan itu dan membuat citra buruk pada pemilik gelar Raden yang sesungguhnya. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)