Beranda Berita Subang Kasus Pajak Sumedang, Pengamat Bandingkan dengan PLTA

Kasus Pajak Sumedang, Pengamat Bandingkan dengan PLTA

Salamuddin-Daeng.jpg

MEDIAJABAR.COM, SUMEDANG – Pengamat ekonomi Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng berharap, dugaan kasus pengemplangan pajak PT DFT di Sumedang segera diselesaikan. Terlebih, Pemerintah saat ini memang tengah gencar melakukan optimalisasi pajak.

“Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) saja dikenakan pajak tinggi. Padahal, PLN tidak mengambil air. Mereka hanya memanfaatkan untuk menggerakkan turbin. Nah, terlebih dalam kasus ini (Sumedang), dimana perusahaan diduga memanfaatkan sumber daya air dan ditengarai pula menjualnya tanpa izin ke industri, maka pengemplangan pajak yang dilakukan pun harus segera diselesaikan,” kata Salamuddin dalam keterangannya hari ini.

Untuk itu, Salamuddin meminta pihak terkait, baik DJP Kanwil Jabar maupun Pemda Sumedang, untuk segera melakukan pemeriksaan terhadap perusahaan, termasuk melakukan audit forensik. Jika benar ditemukan upaya pengemplangan pajak, aparat harus bertindak tegas. Karena dalam kasus ini, selama delapan tahun PT DFT diduga tidak melaporkan pajak kepada DJP Kanwil Jabar sesuai kondisi sebenarnya. Termasuk dari hasil penjualan ke industri tersebut.

BACA JUGA:  Paten Kecamatan Subang Tonggak Baru Pelayanan Publik yang Lebih Baik

“Setiap dugaan pengemplangan pajak, termasuk pajak konsumsi atau juga penjualan air oleh perusahaan, harus ditindak tegas. Pajak untuk PLTA saja begitu tinggi, padahal PLTA menjadi tumpuan energi masa depan. Harusnya pajak untuk konsumsi dan penjualan air lebih ditingkatkan lagi,” kata dia.

Menurut Salamuddin, tindakan tegas terhadap perusahaan akan membawa dampak positif. Selain mendukung optimalisasi pajak, juga diharapkan bisa menekan tingkat kerusakan lingkungan, termasuk akibat eksploitasi sumber daya air. “Apalagi di Jawa Barat, tingkat kerusakan termasuk tinggi,” ujarnya.

BACA JUGA:  Pekan TJSL DAHANA 2024 Kabupaten Subang

Kasus yang melibatkan PT DFT di Sumedang, memang sudah meluas ke tingkat nasional. PT DFT diduga tidak membayar pajak selama delapan tahun. Perusahaan diduga tidak melaporkan pajaknya secara benar dan jauh lebih kecil dari nilai sesungguhnya.

Terkait hal itu, perusahaan ditengarai melanggar UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Pajak Pasal 38 (b). Secara garis besar, pasal tersebut menjelaskan, wajib pajak yang menyampaikan pemberitahuan (SPT Tahunan) tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pendapatan negara, akan dikenakan saksi denda paling sedikit satu kali jumlah pajak terutang, atau yang kurang dibayar dan paling banyak dua kali jumlah pajak terutang yang tidak dibayar atau kurang bayar. Atau, sanksi pidana kurangan paling singkat tiga bulan atau paling lama satu tahun.

BACA JUGA:  Kunjungan SMAN 1 Subang ke Universitas Mandiri: Menanamkan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila

Dalam kasus tersebut, perusahaan diduga merugikan keuangan negara. Besarnya potensi kehilangan pendapatan negara sendiri, bisa didasarkan atas data yang dikeluarkan PT DFT. Melalui situs perusahaan tersebut, tertulis bahwa debit pemakaian oleh sejumlah industri besar, adalah 4.896 m3 per hari. Dengan asumsi bahwa PT DFT menjual kepada konsumen Rp10.000/m3, maka dalam sehari dugaan kerugian sekitar Rp48juta. Artinya, dalam setahun, dugaan kerugian adalah 365 x Rp48 juta atau sekitar Rp17,5 miliar per tahun. (*)