Suarasubang.com – Pagi itu, matahari baru saja naik—tapi suasana di Markas Kodim 0619 Purwakarta sudah terasa seperti adegan film drama keluarga. Alih-alih suara tepuk tangan dan peluit keberangkatan, yang terdengar justru isak tangis, pelukan erat, dan tatapan haru penuh doa. Bukan, ini bukan adegan perpisahan di stasiun kereta. Ini kisah nyata: 45 siswa SMA dari Purwakarta, Subang, dan Karawang bersiap ‘naik pangkat’ ke barak militer Rindam Bandung.
Program ini bukan sembarang kemah pramuka. Ini adalah Program Pendidikan Berkarakter Semi Militer ala Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Tak main-main, para peserta adalah remaja-remaja tangguh dengan ‘CV’ kenakalan yang beragam: dari bolos sekolah, hobi begadang, sampai langganan tawuran.
“Senang sih, biar anak jadi lebih baik, disiplin. Tapi sedih juga, tiga minggu bukan waktu yang sebentar,” tutur Caswati, seorang ibu dari Subang, sambil menyeka air mata yang lebih deras dari hujan awal musim.
Satu lagi testimoni bikin dada mencelos datang dari Cicih, ibu asal Purwakarta. “Waktu awal daftar karena emosi, tapi pas anak mau berangkat rasanya sedih juga. Tapi saya berharap sepulang dari sana, dia berubah. Selama ini susah bangun, suka begadang, merokok. Ya, walaupun nakal, tetap anak saya.”
Bupati Purwakarta, Saepul Bahri Binzein alias Om Zein, menjelaskan bahwa program ini bukan open trip bebas booking. Seleksinya ketat, Bro! “Purwakarta menyumbang 19 siswa, sisanya dari Subang dan Karawang. Banyak yang daftar, tapi harus seleksi ketat. Kami pastikan siswa dan orang tuanya benar-benar siap, baru kita kirim ke Rindam,” ujar Om Zein dengan gaya khasnya yang tenang tapi tegas.
Tapi, seperti kata pepatah, “tak ada sinetron tanpa konflik.” Langkah Dedi Mulyadi ini menuai pro-kontra. Salah satunya datang dari Adhel Setiawan, orang tua siswa asal Kabupaten Bekasi yang mendatangi Bareskrim Polri di Jakarta Selatan, Kamis (5/6/2025).
“Kami memasukkan (aduan) ke Bareskrim mengenai unsur-unsur pidana terkait dengan kebijakan Dedi Mulyadi,” ucap Adhel kepada awak media, sambil menenteng barang bukti seperti detektif yang tak main-main.
Adhel menilai, kebijakan ini melanggar Pasal 76 H UU Perlindungan Anak, yang melarang keterlibatan anak dalam kegiatan militer. “Itu kan jelas-jelas melarang pelibatan anak-anak untuk kegiatan militer,” sebutnya lugas.
Ia juga menganggap bahwa kebijakan Dedi tak punya payung hukum yang jelas. “Jadi Dedi Mulyadi ini kami anggap melaksanakan negara kekuasaan, bukan negara hukum, semau-mau dia aja,” lanjut Adhel dengan nada yang bisa bikin meja rapat bergetar.
Sementara ini, pihak pelapor masih akan kembali ke Bareskrim untuk melengkapi berkas. Kita tunggu saja episode selanjutnya—siapa tahu bakal ada “sidang keliling” atau “remedial undang-undang.”
Yang jelas, antara barak dan barikade hukum, kisah ini menyisakan banyak pelajaran—dan tentu saja, air mata bercampur harapan dari para orang tua yang meyakini bahwa perubahan tak selamanya datang lewat nasehat… kadang lewat sepatu lars dan barak latihan.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Tangis dan Harapan Orang Tua Lepas Siswa Asal Purwakarta, Subang, dan Karawang ke Barak Militer.