Beranda Berita Subang Waspada di Balik Pelukan: 3.800 Kasus HIV di Subang, Komunitas LSL Masuk...

Waspada di Balik Pelukan: 3.800 Kasus HIV di Subang, Komunitas LSL Masuk Zona Risiko Tinggi

HIV di Subang

SUBANG — Jangan salah sangka dulu. Ini bukan cerita sinetron atau kisah cinta terlarang. Tapi kisah nyata dari Subang, yang diwarnai data mengejutkan. Kepala Dinas Kesehatan Subang, dr Maxi, melaporkan bahwa dari sekitar 6.000 anggota komunitas LSL—alias laki-laki suka laki-laki—sebanyak 94 orang dinyatakan positif HIV. Angka ini hanyalah pucuk dari gunung es karena total kasus HIV di Subang sudah menyentuh angka 3.800 hingga pertengahan 2025. Waduh, bukan angka yang bisa diajak bercanda di warung kopi!

Yang bikin hati miris, mayoritas dari 94 kasus positif ini masih muda belia, belum genap kepala tiga. Mereka kini tengah menjalani terapi ARV—bukan ARV as in Ayo Ramean Vaksin, tapi antiretroviral, senjata utama lawan HIV.

BACA JUGA:  Tarif Listrik Juli-September 2025 Tetap, Dompet Aman, Hati Nyaman!

Nah, siapa sajakah pemain utama dalam daftar berisiko tinggi ini? Menurut dr Maxi, mereka adalah para pekerja seks komersial, komunitas LSL, transgender, dan pengguna jarum suntik. Ibarat segitiga Bermuda, empat kelompok ini jadi wilayah rawan untuk penularan HIV.

“Kelompok paling banyak terpapar adalah pekerja seks komersial, disusul komunitas LSL, transgender, dan pengguna narkoba suntik,” jelas dr Maxi dengan nada serius tapi tetap hangat seperti dokter keluarga di sinetron Ramadan.

Dari komunitas LSL yang tercatat 6.000 orang, sebanyak 1.098 di antaranya sudah masuk dalam data resmi Dinas Kesehatan. Ini bukan berarti sisanya aman, tapi bisa jadi mereka belum terjangkau program skrining atau belum “nongol” ke permukaan.

Untungnya, layanan pengobatan di Subang sudah tidak hanya ngendon di RSUD. Puskesmas-puskesmas kini sudah naik kelas! Di Pamanukan, contohnya, ada 500 pasien HIV yang menjalani terapi ARV. Di Jalancagak, jumlah pasiennya 98. Puskesmas zaman sekarang bukan cuma tempat timbang bayi, tapi juga garda depan perlawanan HIV!

Eh, jangan buru-buru panik kalau habis salaman, berenang bareng, atau antre toilet sama pasien HIV. dr Maxi menegaskan: penularan HIV tidak terjadi lewat kontak sosial biasa. Virus ini bukan hantu yang nempel lewat tatapan mata atau kursi yang sama. Jalurnya hanya tiga: hubungan seksual berisiko, dari ibu ke anak, dan berbagi jarum suntik. Kalau lewat nyindir di story WA, sih, itu penularan toxic, bukan HIV!

Sebagai jurus pamungkas, dr Maxi mengusulkan pendekatan ABCDE. Bukan cuma buat nilai rapor, tapi juga gaya hidup sehat bebas HIV:

  • A: Abstinence – tahan diri, jangan ‘main-main’ sebelum nikah
  • B: Be faithful – setia, jangan punya cabang
  • C: Condom – ya, kalau A dan B bolong
  • D: Don’t use drugs – jauhi narkoba, jangan coba-coba
  • E: Education – pahami risikonya, jangan anggap enteng
BACA JUGA:  Radio Benpas 98,2 FM: Dari Siaran Perjuangan Jadi Bintang Digital Subang

“Dengan edukasi yang benar, masyarakat diharapkan mampu membentengi diri dan keluarganya dari paparan HIV/AIDS,” tutup dr Maxi, seperti dokter yang bukan hanya menyembuhkan, tapi juga menjaga dari jauh.

Kalau hidup adalah perjalanan, maka jangan sampai salah naik kendaraan. Lebih baik kita tahu jalurnya sekarang, daripada tersesat dan menyesal belakangan.