Ciater, Subang — Jumat pagi yang biasanya riuh dengan aroma kopi dan gorengan, mendadak berubah jadi drama tak terduga di perbatasan Jalan Raya Tangkuban Parahu, Wates I, Desa Ciater. Sebanyak 14 warung yang berdiri di atas tanah milik pemerintah dirobohkan Satpol PP Kabupaten Subang bersama Polres Subang. Alat berat mengaum, bukan untuk membangun, tapi meratakan.
Tak ada surat kabar di pagi hari yang memberi kabar buruk ini, tak ada juga pesan singkat berisi “awas, warungmu dibongkar.” Para pedagang terperanjat. Ada yang tergopoh mengangkut galon dan panci, ada yang nekat berdiri di depan ekskavator sambil berdebat sengit dengan petugas. Suara logam dan teriakan bercampur, menciptakan simfoni paling getir di Ciater hari itu.
Setelah negosiasi kilat, petugas memberi waktu 2×24 jam bagi pemilik untuk membongkar sendiri bangunannya. Meski jeda waktu ini ibarat napas tambahan, kepanikan telanjur menyelimuti udara. Rani, pemilik salah satu warung, mengaku hatinya remuk ketika melihat ekskavator parkir manis di depan tokonya sejak pukul 10.00 WIB. “Saya langsung cari mobil sewaan untuk angkut barang, takutnya kalau telat semua hancur,” ujarnya dengan mata berkaca. Ia juga menyebut pemerintah berjanji memberi uang kerohiman Rp10 juta pekan depan, meski lokasi relokasi masih misteri.
Drama semakin tegang ketika Dian, pedagang lain yang punya riwayat asma, pingsan begitu mendengar keputusan pembongkaran. Ia dilarikan ke fasilitas kesehatan, meninggalkan pemandangan haru: tangisan keluarga, pedagang, dan warga yang ikut terpukul.
Di tengah situasi genting, nama Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM) pun disebut-sebut. “Kalau KDM yang datang, mungkin nasib kami bisa lebih jelas,” kata Eli, pedagang yang berharap ada tangan penolong dari sosok yang terkenal dekat dengan rakyat kecil itu.
Kabarnya, pembongkaran ini bagian dari penertiban bangunan liar di jalur strategis Subang–Lembang. Tapi, keputusan tanpa sosialisasi resmi ini memantik tanya besar: mengapa secepat ini? Eman, pedagang yang baru saja melunasi pinjaman bank untuk membangun warung setahun lalu, hanya bisa mengelus dada. “Ada pedagang lain yang masih punya cicilan, tapi warung keburu dibongkar,” keluhnya.
Menjelang malam, para pedagang masih berjibaku membongkar bangunan sendiri demi menyelamatkan kayu dan seng yang masih bisa dipakai. Harapan mereka sederhana: ada solusi yang lebih manusiawi dan kepastian yang bisa menenangkan di tengah ketidakpastian ini.