suarasubang.com – Menatap perkembangan Subang hari ini, entah kenapa saya tak menemukan sedikit pun hal yang membuat saya ‘excited’, kagum atau bergairah.
Saya enggan menyinggung slogan tentang Subang yang digembar-gemborkan beberapa tahun belakangan. Tak perlu, karena sebagai rakyat, yang saya butuhkan adalah sesuatu yang ‘nyata’ bukan ‘citra’.
Sayangnya, di tataran citra sekalipun, tak ada yang membekas ‘indah’ di benak saya. Apalagi jika bicara soal kenyataan. Bukan hendak nyinyir, tapi keadaan tak bisa berbohong.
Sebagai rakyat, ada beberapa hal yang sampai saat ini membuat saya gelisah saat menatap Subang hari ini.
Bukan, bukan variabel-variabel seperti pemerintahan, birokrasi hingga carut marut politik yang jadi biang keladi kegelisahan saya. Tapi hal-hal sederhana. Salah satu contohnya, sampah.
Ya, hingga saat ini permasalahan sampah buat saya sebagai rakyat adalah sebuah isu krusial. Sangat mendasar tapi dampaknya besar.
Hingga sekarang saya tak habis pikir, betapa minimnya Tempat Pembuangan Sampah (TPS) atau tempat menimbun sampah di kota Subang.
Anehnya, secara bertahap beberapa TPS di area-area penting malah dipangkas. Bahkan, kini kian sulit menemukan TPS, malah nyaris tak ada.
Dulu masih amat sangat mudah menemukan TPS di beberapa titik. Beberapa tahun ke belakang, tanpa harus menunggu ‘pasukan kuning’ memungut sampah, saya masih bisa berinisiatif membuang sendiri.
Tapi lama kelamaan, sedikit demi sedikit, satu per satu, TPS ini berguguran. Bahkan untuk sekedar membuang sampah, saya harus berkeliling Subang, mencari TPS yang masih tersisa.
Sampai akhirnya, saya tak menemukan satu pun lokasi pembuangan sampah. Alhasil, setahun terakhir, sampah di rumah saya kerap tidak terkelola dengan baik, menumpuk. Bingung, harus kemana membuangnya.
Padahal tanpa ketersediaan tempat pembuangan yang layak, sampah ini mencemari lingkungan. Mengganggu dan merusak ekosistem, dan akan menimbulkan bau yang tidak sedap.
Berharap ‘pasukan kuning’ datang menjemput tepat waktu sebelum sampah menumpuk kadang hanya membuat dongkol. Bahkan kerap sampah di rumah tak diangkut lebih dari seminggu.
Akhirnya, di setiap pinggir jalan, saya kerap menemukan tempat pembakaran (pembuangan) sampah sembarangan yang dapat mencemari lingkungan.
Mirisnya, solusi paling cepat yang dilakukan sebagian masyarakat adalah membuangnya ke sungai. Tak heran, jika di musim hujan saya kerap melihat penumpukan sampah yang menyumbat aliran sungai.
Mungkin untuk persoalan atau hal ini, hanya saya saja yang mengalami dan mengeluhkan. Atau justru saya tak sendirian, ternyata banyak kepala keluarga merasakan kegelisahan serupa. Entah.
Pada akhirnya, tak perlu saya berpanjang lebar menceritakan kegelisahan tentang Subang hari ini. Karena lewat hal sederhana seperti ‘sampah’ ini pun, saya terpaksa mengambil kesimpulan praktis.
Jika untuk hal-hal sederhana dan mendasar saja kita tak sanggup menemukan solusi, apalagi untuk hal-hal besar. Subang hari ini saja masih seperti ini, apalagi esok.
Mungkin, akan ada sosok yang bisa membawa perubahan di Subang esok? Saya jelas-jelas sangat menantikan.
Hari Pitrajaya