Sejarah transmigrasi orang Jawa Reang ke Pangandaran tak lepas dari narasi kolektif leluhur masyarakat daerah Wonoharjo. Konon menurut cerita lampau orang penduduk asli Wonoharjo lah yang merupakan hasil transmigrasi orang Jawa pada abad ke-19.
Mereka meyakini leluhurnya adalah orang Jawa dari daerah Prembun bernama Mbah Boengkoes. Sebetulnya legenda ini terjadi jauh sebelum abad ke-19, sebab legenda Mbah Boengkoes sudah ada sejak masa kejayaan Soekapura awal abad ke-17 masehi.
Kala itu Mbah Boengkoes dipercaya sebagai utusan kerajaan Soekapoera –saat ini Tasikmalaya untuk membuka alas (hutan) keramat di daerah Pangandaran. Perintah itu ia selesaikan dalam waktu yang relevan singkat.
Berdasarkan perjanjian sebelumnya dengan penguasa Soekapoera, siapapun yang bisa membuka hutan yang saat ini menjadi daerah Pangandaran, maka diizinkan anak, cucu, dan keturunan lainnya menempati wilayah tersebut.
Baca Juga: Sejarah Pangandaran Pasca Pendudukan Jepang, Pemerintahan Pindah dari Ciamis ke Cilacap
Dari legenda inilah kemudian banyak orang-orang Jawa Reang mempercayai sosok Mbah Boengkoes sebagai orang Jawa pertama yang tinggal di Pangandaran.
Maka sebagian mempercayai bahwa orang Jawa yang tinggal di Pangandaran adalah keturunan Mbah Boengkoes.
Sejarah Transmigrasi Orang Jawa Reang ke Pangandaran, Mencari Kehidupan
Menurut Indira, dkk dalam jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora Unpad berjudul, “Komunitas Jawa di Desa Wonoharjo sebagai Jejak Migrasi Etnis Jawa di Kabupaten Pangandaran” (Vol. 1, (2) April 2019), adanya transmigran orang Jawa Reang di Pangandaran dilatarbelakangi oleh keinginan mencari kehidupan yang layak.
Orang-orang Jawa yang berasal dari daerah Prembun –daerah perbatasan antara Kebumen dan Purworejo ingin mengubah taraf hidupnya menjadi lebih baik lagi. Sebab daerah Prembun dianggap kurang subur sehingga sulit mendapatkan sumber daya alam yang memadai.
Jika kita uji hipotesa ini menggunakan teori toponimi, maka pernyataannya akan relevan dengan asal-usul nama Pangandaran itu sendiri. Sebab nama Pangandaran dipercaya berasal dari dua suku kata bahasa Jawa-Sunda yang memiliki makna yang sama.
Antara lain yaitu berasal dari kata Pangan atau dalam bahasa Jawa: Pangan berarti Makanan dan Daran atau dalam bahasa Sunda: Dahareun berarti Makanan.
Maka dapat disimpulkan asal-usul nama (toponimi) daerah Pangandaran sesuai dengan fakta sosial yang ada: yaitu ditempati oleh dua suku masyarakat yang berbeda –ada Sunda dan Jawa. Kendati demikian hipotesis ini perlu diuji lagi menggunakan riset mendalam.
Adapun jalur transmigrasi daerah Jawa ke Pangandaran semakin kencang pada tahun 1920. Hal ini dikarenakan terdapatnya ladang pekerjaan baru yang disediakan oleh pemerintah kolonial berupa industri kopra.
Baca Juga: Sejarah Pembantaian Tionghoa di Pangandaran, Siasat Adu Domba Sekutu
Nampaknya karena industri kopra ini sukses membuat orang Jawa lainnya datang ke Pangandaran. Mereka menjadi buruh di pabrik kopra, mengabdikan diri untuk industrial Belanda dengan upah yang bisa menghidupinya.
Membentuk Struktur Orang Jawa Baru
Masih menurut Indira dkk, adanya orang Jawa di Pangandaran menimbulkan struktur masyarakat tersebut berbeda dengan aslinya. Mereka telah membentuk struktur orang Jawa Baru yang dikenal dengan istilah orang Jawa Reang.
Hal ini diketahui dari cara mereka memakai bahasa Jawa yang terbilang langka dari aslinya. Banyak kosa-kata Jawa yang bercampur dengan bahasa Sunda. Dari situlah kemudian penduduk Pangandaran menyebutnya dengan istilah Jawa Reang.
Sedangkan menurut Djajasudarma dkk, dalam buku berjudul, “Monograf Diksi Kesantunan dalam Ranah Sosiolinguistik Pembentukan Karakter: Analisis Bahasa Budaya Sunda di Jawa Barat” (2016), konon bahasa Jawa Reang merupakan hasil enkulturasi dari budaya Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Maka dari itu lahir lah kebudayaan baru termasuk bahasa Jawa Reang tadi. Namun meskipun melahirkan persatuan budaya, kehidupan masyarakat Jawa dengan Sunda di Pangandaran selalu terpisah.
Orang Jawa selalu memisahkan diri di daerah mana mereka dekat dengan orang-orang jawa lainnya. Seperti halnya di daerah Wonoharjo. Di sana hampir 90 persen penduduk berbahasa Jawa Reang, 10 persen lainnya berbahasa Sunda.
Uniknya orang-orang berbahasa Jawa Reang di Wonoharjo dianggap aneh oleh orang Prembun. Selain karena sikap budayanya yang homogen, orang-orang Prembun asli kadang tidak mengerti dengan bahasa Jawa orang Pangandaran.
Baca Juga: Sejarah Kelapa Pendek di Pangandaran, Tumbuhan Langka Ditemukan Pensiunan ABRI
Pangandaran: Daerah Multi Etnis yang Penuh dengan Toleransi
Walaupun struktur masyarakat Jawa Reang senang berpisah dari lingkungan suku Sunda di Pangandaran, menurut riset yang dilakukan oleh dua peneliti linguistik dari UNPAD di atas tadi menggambarkan jika Pangandaran merupakan daerah multi etnis yang penuh dengan toleransi.
Sebab selain adanya suku Jawa di daerah Pangandaran juga terdapat suku Sumatera Barat (Padang) dan Tionghoa. Mereka hidup rukun dengan masyarakat sekitar, bergaul bersama dan menjalin komunikasi yang harmonis.
Meskipun berbeda agama, suku, dan budaya, orang-orang Pangandaran yang multi etnis tetap bersatu dalam kebahagiaan. Mereka rukun bertetangga, tak jarang membantu satu sama lain dalam kerja bakti, hajatan, dan gotong royong pembangunan rumah.
Keadaan rukun, guyub, dan toleransi itu bahkan telah terjadi sejak dulu hingga saat ini. Namun seiring berjalannya waktu keadaan tersebut harus dipertahankan, mengingat Pangandaran telah jadi kota wisata yang bisa menyebabkan tumbuh suburnya perasaan acuh tak acuh (apatisme) yang kuat. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)