Beranda Berita Nasional Sejarah Pesantren Miftahul Huda Manonjaya, Pondok Salafiyah Terbesar di Tasikmalaya

Sejarah Pesantren Miftahul Huda Manonjaya, Pondok Salafiyah Terbesar di Tasikmalaya

Sejarah-Pesantren-Miftahul-Huda-Manonjaya.jpg

Sejarah Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat penting untuk diketahui. Pondok pesantren ini menjadi salah satu pondok pesantren salafiyah terbesar yang ada di Tasikmalaya.

Pendiri dari Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya sendiri adalah Kiai Haji Choer Affandi, seorang ulama kharismatik asal Tasikmalaya.

Pondok pesantren tradisional ini tumbuh menjadi pondok pesantren modern tanpa meninggalkan nilai-nilai salafnya.

Hingga hari ini Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya menjadi salah satu pondok pesantren yang berperan penting dalam penyebaran dakwah di Tasikmalaya.

Baca Juga: Sejarah Pesantren Musthopawiyah, Pernah Menampung Mantan Napi

Sejarah Pesantren Miftahul Huda Manonjaya dan Perjuangan Kiai Haji Choer Affandi

Adeng dalam “Sejarah Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya” (2011), Kiai Haji Choer Affandi sebelumnya bernama Onong Husen. Ia lahir pada Senin, 12 September 1923 di Kampung Palumbungan, Desa Cigugur, Ciamis.

Ia lahir dari pasangan Raden Mas Abdullah yang memiliki darah keturunan Mataram dan Siti Aminah yang berasal dari Wali Godog Garut.

Masa kecil Onong Husen terbilang cukup keras, ia mendapatkan pendidikan kedisiplinan yang cukup berat dari kedua orang tuanya.

Pada awalnya ia sempat bersekolah di Inlandsche School atau sekolah khusus Bumiputera. Ketika ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, ia mendapatkan larangan keras dari neneknya.

Ia justru mendapat amanah untuk menjadi kiai dan jadi penerus keluarganya. Oleh karena itu, ia kemudian melanjutkan pendidikannya di pesantren.

BACA JUGA:  Shin Tae-Yong memanggil sebanyak 26 pemain, ini daftarnya

Selama masa pembelajarannya ia sudah menempuh pendidikan di berbagai pesantren mulai dari Pesantren Cipancur, Pesantren Pangkalan, Pesantren Cikalang, Pesantren Sukamanah, Pesantren Jembatan Lima, Pesantren Tipar, dan Pesantren Gunung Puyuh.

Selepas pengembaraan mencari ilmu inilah Kiai Choer Affandi mendirikan Pesantren Miftahul Huda pada tanggal 7 Agustus 1967.

Baca Juga: Sejarah Pesantren, Lembaga Pendidikan Tertua di Indonesia

Pesantren Miftahul Huda terletak di Kedusunan Pasir Panjang, Desa Kalimanggis, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya. Pesantren itu sendiri sebenarnya dibangun terpisah dari perkampungan penduduk agar dapat mengawasi para santri dari pengaruh-pengaruh luar.

Secara harfiah Miftahul Huda sendiri memiliki arti kunci petunjuk. Harapannya adalah agar para santri yang lulus dari pesantren ini bisa mencetak para santri yang shalih dan ajengan.

Pondok Pesantren Salafiyah Terbesar di Tasikmalaya

Menurut Qiyadah Rabbaniyah dan Rofidah Lina dalam, “Model Pengelolaan Pesantren” (2023) dalam konteks ke-Indonesiaan, istilah salaf, salafi, salafiyah mempunyai makna kelompok muslim tradisional yang berusaha mempertahankan tradisi-tradisi lama seperti pengkajian kitab kuning dan budaya-budaya lama.

Metode pembelajaran di Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya ini sendiri menerapkan kurikulum fleksibel. Kiai Haji Choer Affandi merancang sendiri kurikulum tersebut.

Untuk membuat sistem kurikulum tersebut lebih berkompeten, Kiai Haji Choer Affandi melakukan pengkajian kurikulum bersama dengan dewan kiai.

Khusus pembelajaran tentang kebahasaan dan logika di pesantren ini menggunakan Kitab Jurumiah, kitab Shorof Kailani, Amtsilatut-Tasrif, Kitab Imriti, Kitab Alfiyah Ibnu Malik, Kitab Samarqandi, dan Kitab Sulamun Nauraq.

BACA JUGA:  Cara Nonton Live Streaming Timnas Indonesia vs Australia Kualifikasi Piala Dunia 2026

Terdapat pula pembelajaran aqidah yang biasanya menggunakan kitab Tidjanudarory, Kitab Aqidatul ‘Awam, Kitab Khulasoh Ilmu Tauhid, Kitab Majmu’atul Aqidah, Kitab Sya’bun Iman, Kitab Ghoyatul Wushul, dan Kitab Aqidah Al-Islamiyah.

Bagi para santri yang sedang fokus pada kajian syariah dan fiqh biasanya akan mendapat pembelajaran dari Kitab Safinah, Kitab Taqrib, Kitab Riyadul Badiah, Kitab Lanatuts-Tholibin, Kitab Fathul Muin, dan Kitab Fathul Wahab.

Terakhir kitab untuk mengkaji materi akhlak dan tasawuf adalah Kitab Akhlaq Lil Banin dan Kitab Sulamut Taufiq.

Ciri khas pondok pesantren salafiyah inilah yang masih terus dipertahankan oleh Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya hingga hari ini.

Untuk memudahkan pengkajiannya kitab kuning ini dengan menggunakan bahasa Sunda. Sehingga orang yang awam dalam bahasa Arab pun bisa memahaminya.

Baca Juga: Sejarah Resolusi Jihad, Peran Ulama Pesantren Berperang Lawan Penjajah

Menerapkan Pola-Pola Pesantren Modern

Dian Prayoga dalam “Perjuangan KH. Choer Affandi Pendiri Pesantren Miftahul Huda Manonjaya” (2019) menyebut, meskipun dikenal sebagai salah satu pondok pesantren salafiyah terbesar di Tasikmalaya, di sisi yang lainnya pondok pesantren ini mulai menerapkan model-model pembelajaran yang lebih modern.

Pada umumnya sistem pendidikan salafiyah memang tidak menerapkan kurikulum yang disusun secara rapi lengkap dengan silabus.

Setiap santri memang mendapat pembelajaran tanpa mengenal batas waktu tertentu. Sehingga sangat wajar ketika ada santri yang belajar bahkan hingga puluhan tahun lamanya.

BACA JUGA:  30 Petugas Pertanian Jabar Asah Keterampilan Smart Farming di Bapeltan Cianjur

Metode pembelajaran seperti ini memang menjadi ciri khas dari pondok pesantren salafiyah. Namun, tidak semua sistem tersebut relevan untuk hari ini. Mengingat kondisi pendidikan Indonesia yang juga memiliki batasan tertentu.

Melihat hal ini Pondok Pesantren Miftahul Huda sendiri secara perlahan mulai menerapkan sistem semi formal.

Sistem semi formal ini adalah ciri khas salafiyah seperti pengkajian kitab-kitab yang relevan dengan keadaan hari ini. Sedangkan pada aspek yang lain seperti kurikulum dan lamanya durasi belajar mulai diatur secara rinci.

Pada Pondok Pesantren Miftahul Huda ini sistem silabus, kurikulum, dan sistem evaluasi dibuat berdasarkan tujuan dari pembelajaran.

Jenjang pendidikan di pesantren ini pun terbagi menjadi tiga yaitu Ibtida, Tsanawiyah, dan Ma’had Ali. Semuanya mempunyai tiga tingkatan dan pembelajaran santri pada jenjang Ma’had Ali menekankan pada praktek.

Kini Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya sudah menambah berbagai bangunan seiring dengan banyaknya santri yang menuntut ilmu di sana.

Meskipun sudah mengalami perpindahan letak dari pendirian awalnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa pondok pesantren ini memberikan banyak kontribusi bagi masyarakat.

Kiai Haji Choer Affandi sendiri meninggal tepat pada tanggal 26 November 1994. Hingga hari ini nama beliau menjadi salah satu deretan ulama yang berperan dalam perkembangan Islam, baik di Tasikmalaya maupun Indonesia. (Azi/R7/HR-Online/Editor-Ndu)