Beranda Berita Nasional Sejarah Perubahan Galuh Jadi Ciamis, Apa Motif Bupati Sastrawinata?

Sejarah Perubahan Galuh Jadi Ciamis, Apa Motif Bupati Sastrawinata?

Sejarah-Perubahan-Galuh-jadi-Ciamis.jpg

Dalam catatan sejarah, perubahan nama Galuh jadi Ciamis terjadi pada pertengahan abad ke-20 masehi. Bupati zaman kolonial yang saat itu mengganti nama Galuh menjadi Ciamis adalah seorang elit tradisional keturunan Mataram. Ia bernama Raden Tumenggung Sastrawinata.

Bupati yang juga terkenal dengan gelar Raden Tumenggung Aria Sulaeman Sastrawinata bukan keturunan Prabu Haur Kuning atau trah kerajaan Galuh.

Namun karena ia dekat dengan Belanda maka pemerintah kolonial menunjuknya jadi Bupati Galuh dan mengganti nama Galuh menjadi Kabupaten Ciamis.

Menurut berita dalam koran kolonial bertajuk “Algemeen Handelsblad: De Onderscheiding Tjiamis Regent” yang terbit pada tanggal 10 Agustus 1927, pemerintah kolonial Belanda begitu memperhatikan Bupati Sastrawinata.

Baca Juga: Bupati Sastrawinata, Tokoh yang Ganti Nama Galuh Jadi Ciamis

Saking dihormati oleh Belanda saat ia terpilih dan diangkat kembali menjadi Bupati Ciamis untuk kesekian kalinya, Sastrawinata mendapat ucapan selamat dari Panglima Militer kolonial bernama William.

Ucapan selamat itu disampaikan melalui telegraf. Bahkan sebuah koran yang tersebar di Batavia memuat ucapan selamat William tersebut di halaman paling depan.

Konon kedekatan Sastrawinata dengan Belanda karena dulu ia seorang ambtenaar (pegawai pemerintah) kantor kejaksaan yang di daerah Serang, Banten.  

BACA JUGA:  Indonesia Tantang Bahrain di Laga Penentu Kualifikasi Piala Dunia 2026

Sejarah Awal Perubahan Nama Galuh Jadi Ciamis

Menurut surat kabar kolonial yang terbit pada tanggal 3 Agustus 1915 bertajuk, “De Sumatera Post”, sejarah perubahan nama kerajaan Galuh menjadi kabupaten Ciamis terjadi pada tahun 1914-1915, tepat pada era bupati Sastrawinata.

Ia mengganti nama Galuh menjadi Ciamis terinspirasi dari perkataan orang-orang Mataram yang mencemooh orang Sunda Galuh. Konon Ciamis merupakan cemoohan orang Jawa pada masyarakat Galuh yang berarti bau aroma amis (anyir).

Sebutan ini tak lepas dari tragedi berdarah yang saat itu melibatkan pasukan Mataram dan Galuh. Menurut literatur yang tersebar, konflik ini membuat kerajaan Galuh hancur. Banyak para prajurit mereka yang tewas bersimbah darah sehingga menimbulkan bau amis.

Karena Raden Tumenggung Sastrawinata bukan keturunan Galuh dan lebih condong punya darah keturunan Mataram. Sebagai tanda menaklukan kerajaan Galuh maka daerah kekuasaannya saat itu ia ganti dengan nama Ciamis.

Sastrawinata mengganti nama Ciamis demi kepentingan penaklukan Mataram pada kerajaan Galuh. Pemerintah kolonial juga menyambut perubahan nama tersebut. Saat itu pemerintah kolonial memang sudah bekerjasama baik dengan kerajaan Mataram.

Adapun Tragedi berdarah di atas, belakangan baru diketahui dengan nama peristiwa Bedah Ciancang. Peperangan antar saudara yang membawa duka begitu dalam bagi rakyat Galuh hingga detik ini.

BACA JUGA:  Isu Poligami dan Narkoba Bisa Rontokan Elektabilitas Kandidat di Pilkada Subang

Baca Juga: Sejarah Perlawanan Umat Islam Ciamis terhadap Belanda, Menginspirasi Bandung Lautan Api

Bupati Sastrawinata, Kepala Daerah Pembela Kolonial

Beberapa literasi yang ada dalam koran-koran terbitan tahun 1914-1925, menyebut bupati Sastrawinata adalah kepala daerah yang kerap mendapat kecaman dari rakyatnya karena jadi pembela sejati pemerintah kolonial.

Meskipun sudah dikecam oleh rakyat Galuh, hal ini tidak mempengaruhi kedudukan Sastrawinata sebagai bupati Ciamis. Bahkan jabatan bupati Sastrawinata tetap langgeng hingga menjadi bupati petahana sebanyak tiga kali.

Hal ini disampaikan oleh William –seorang pejabat militer Belanda yang bertugas di Ciamis, terpilihnya bupati Sastrawinata karena ia merasa senang dan nyaman saat bergaul dengannya.

Bagi William, Sastrawinata adalah orang Sunda satu-satunya yang terkemuka dan bisa mengimbangi pengetahuan orang-orang Barat.

Oleh sebab itu tidak hanya William saja yang merasa nyaman saat berdiskusi dengan Sastrawinata, orang Belanda lainnya juga merasakan hal yang sama.

Hal ini berbeda dengan pendapat rakyat Galuh, mereka tetap berada pada pendiriannya, Sastrawinata adalah kepala daerah pembela sejati kolonial.

Rakyat keturunan Galuh tidak merestui Sastrawinata menjadi bupati Galuh, terutama karena ia telah berani mengganti nama Galuh menjadi Ciamis.

BACA JUGA:  Kronologis Lengkap Kecelakaan Truk Maut di Subang: Dua Tewas, Delapan Luka-luka

Baca Juga: Sejarah Pemberontakan PKI 1926, Pelakunya Digantung di Alun-alun Ciamis

Pergantian Nama Galuh Menjadi Ciamis, Simbolisasi Dominasi Mataram di Tanah Sunda

Peristiwa Bedah Ciancang telah membuat nama Galuh berubah menjadi Ciamis. Hal ini tak terlepas dari peran seorang bupati Ciamis yang condong memihak kerajaan Mataram yakni bupati Sastrawinata.

Konon pejabat tinggi kolonial mantan pegawai kejaksaan di daerah Banten ini mengganti nama Galuh jadi Ciamis untuk menunjukkan simbol dominasi Mataram di Tanah Sunda.

Mataram menjadi lambang kejayaan orang Jawa, bahkan hingga akhir abad ke -20 Mataram menjadi kerajaan yang mendominasi seluruh daerah di pulau Jawa termasuk tanah Pasundan.

Mataram adalah kerajaan terbesar satu-satunya yang bisa mengikuti alur zaman. Mereka dapat bekerjasama dengan pemerintah kolonial hingga tahun 1945. Bahkan hingga hari ini kita bisa melihat tilas kejayaan Mataram di keraton Kasultanan Yogyakarta.

Kendati begitu, peristiwa yang melibatkan konflik antara prajurit Galuh dan Mataram di masa lalu sudah selesai direkonsiliasi oleh pemerintah hari ini.

Salah satu bentuk rekonsiliasi tersebut nampak jelas dengan adanya nama jalan Padjajaran di Yogyakarta. Sedangkan di kota Bandung terdapat jalan Mataram. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)