KBRN, Jakarta: Pemerintah serta seluruh pihak yang terkait optimis untuk menyegerakan pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), menjadi undang-undang.
“Dengan beberapa bulan terakhir ini tiada hari tanpa kasus kekerasan, mudah-mudahan tidak hanya pemerintah tetapi DPR juga bisa tergerak hatinya untuk mengawal dan mengesahkan RUU PKS itu menjadi undang-undang,” ucap Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, dalam keterangan yang diterima RRI, Sabtu (12/3/2022).
Ia meyakini sinergitas masing-masing lembaga terkait, akan mendapat satu mekanisme penanganan yang menyeluruh dan komprehensif dalam penanganan TPKS.
“Untuk menciptakan kerja yang seirama ini kuncinya kita harus saling berbagi dan berkoordinasi. Saling memantau dan mengawasi, serta saling membantu dan melengkapi, bukan bekerja sendiri-sendiri,” katanya.
“Mudah-mudahan dalam pembahasan ini penyempurnaan dapat dilakukan. Semoga tenggat waktu yang sudah dijadwalkan, kerja sama dan komunikasi yang intens yang kita lakukan dengan badan legislatif dan panitia kerja dapat memberikan apa yang sudah dinantikan, yakni RUU TPKS disahkan menjadi undang-undang,” tambahnya.
Ia mengatakan pemerintah sebelumnya juga telah melakukan penajaman-penajaman agar saat menjadi undang-undang, TPKS betul-betul bisa diimplementasikan.
“Berbagai komunikasi telah kami jalin, di antaranya dengan jaringan masyarakat sipil, dan pendamping korban, agar ketika RUU itu telah sah menjadi undang-undang dapat ditangani dengan baik setiap kasus kekerasan terhadap perempuan,” ungkapnya.
Fenomena kekerasan seksual yang terjadi kepada perempuan dan anak-anak, dikatakannya ibarat fenomena gunung es. Hal itu karena kasus kekerasan seksual yang sebenarnya terjadi lebih tinggi daripada kasus yang terlaporkan.
Berdasarkan survei pengalaman hidup perempuan nasional (SPHPN) 2021 yang dilakukan Kementerian PPPA bersama Badan Pusat Statistik (BPS), didapati bahwa 26,1 persen atau 1 dari 4 perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik atau seksual yang dilakukan pasangan, dan selain pasangan selama hidupnya.
Sementara survei nasional pengalaman hidup anak dan remaja 2021 menggambarkan bahwa anak perempuan lebih banyak mengalami satu jenis kekerasan atau lebih sepanjang hidupnya, dibandingkan anak laki-laki. Namun, jika melihat data simfoni-ppa selama 2019 – 2021, terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan maupun anak yang terlaporkan.
“Tren meningkatnya pelaporan kasus di tengah menurunnya prevalensi kekerasan. Artinya masyarakat mulai berani untuk melapor. Semakin masifnya penggunaan media sosial juga turut andil untuk mengungkap berbagai kasus kekerasan,” pungkasnya.
Sementara, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej, juga optimistis Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) segera disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Hal itu dikarenakan adanya kemauan politik atau political will yang sama dalam upaya memberikan perlindungan maksimal terhadap korban, di samping penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual.
“Kami selalu komunikasi dengan DPR agar RUU TPKS segera disahkan,” tegasnya.
“Sebelumnya memang pemerintah terkesan berjuang sendiri untuk RUU TPKS. Namun sekarang semua pihak sudah saling koordinasi,” urainya.
Edward yang juga Ketua Gugus Tugas Percepatan Pembahasan RUU TPKS menyatakan, terdapat 588 Daftar Isian Masalah (DIM) di RUU TPKS.
“Pemerintah betul-betul serius dalam pembahasan RUU TPKS,” katanya.
Ia menambahkan, terdapat tujuh bentuk tindak pidana kekerasan seksual dalam RUU TPKS yakni, pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual nonfisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual.
“Kami juga usulkan hukum acara mengatur secara rinci agar mempermudah pembuktian kekerasan seksual,” ujarnya.
Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP), Jaleswari Pramodawardhani, mengungkapkan hal yang sama dan berharap RUU TPKS bisa segera disahkan menjadi Undang-Undang (UU). Hal itu, karena kekerasan dan kejahatan seksual sudah dalam kondisi darurat dan butuh payung hukum yang lebih mengikat.
“Saat ini pengesahan RUU TPKS ada di DPR dan idealnya dua kali masa sidang sudah bisa disahkan menjadi Undang-Undang,” katanya.
Jaleswari pun mengungkapkan jika pihaknya sudah bertemu dengan berbagai pemangku kepentingan baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatif.
“Pertemuan dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban serta LSM Perempuan juga sudah kami lakukan,” tegasnya.
Ia menilai RUU TPKS sudah mewakili isu bersama di Tanah Air sehingga wajib secepatnya disahkan oleh DPR.
Untuk itu, ia mengharapkan semua pihak termasuk media dapat melipatgandakan wacana pengesahan RUU TPKS segera dilakukan. RUU TPKS merupakan hasil kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.