Bandung – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menegaskan bahwa polemik dalam pembangunan pabrik mobil listrik BYD asal Tiongkok di Subang bukan disebabkan oleh premanisme, melainkan praktik percaloan tanah yang kian meresahkan.
Menurut Dedi, sejumlah pihak telah menguasai lahan dan menawarkan harga tanah yang sangat tinggi kepada investor. Bahkan, ada yang mematok harga hingga Rp20 juta per meter. Kondisi ini tentu menyulitkan proses pembebasan lahan yang dibutuhkan untuk investasi besar seperti pabrik mobil listrik.
“Ini bukan soal premanisme, tapi calo tanah. Mereka sudah terima DP dari pihak tertentu lalu menaikkan harga tanah,” ujar Dedi saat diwawancarai di Bandung, Kamis.
Dedi juga menepis kabar adanya gangguan dari kelompok preman atau ormas dalam proses pembangunan. Ia menegaskan bahwa isu tersebut hanyalah cerita lama yang kini sudah tak lagi relevan.
“Kalau dicek sekarang, kondisinya sudah aman. Nggak ada lagi premanisme seperti dulu. Bahkan pedagang Aqua saja hampir tak terlihat,” ujarnya menambahkan.
Ia menilai yang dibutuhkan saat ini adalah tindakan cepat dan tegas terhadap persoalan-persoalan di lapangan. Bila ada masalah, solusinya harus segera diambil agar tidak menghambat investasi strategis di Jawa Barat.
Progres pembangunan pabrik BYD sendiri berjalan cukup baik. Izin akses tol dari kementerian pun sudah dikeluarkan. Meski begitu, pembebasan tanah di beberapa titik masih menjadi tantangan.
“Sekarang tinggal BYD-nya lanjut, karena beberapa wilayah masih ada kendala pembebasan lahan,†ungkapnya.
Dedi berkomitmen untuk memfasilitasi pertemuan antara pihak perusahaan dan masyarakat pemilik tanah agar proses ini bisa segera rampung. “Minggu depan saya akan fasilitasi pertemuan kedua belah pihak agar segera tuntas,†ucapnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno sempat meminta pemerintah bertindak tegas terhadap ormas yang disebut mengganggu pembangunan pabrik. Namun, klarifikasi dari Gubernur Jawa Barat memperlihatkan bahwa permasalahan yang sebenarnya adalah calo tanah, bukan premanisme.