Pagaden, salah satu kecamatan di Kabupaten Subang, bukan sekadar nama yang sering kita dengar di rute perjalanan menuju kota—ia adalah denyut yang lembut dari jantung Subang bagian tengah.
Bayangkan peta kecil di mana Pagaden berdiri tegak di tengah persawahan, bersentuhan dengan Binong di utara, berpelukan dengan Subang dan Cibogo di selatan, menyapa Cipunagara di timur, dan bersalaman hangat dengan Pagaden Barat di sisi barat.
Ramah tetangga? Sudah tentu. Bahkan batas wilayahnya saja terasa seperti sapaan antar-sahabat lama.
Wilayah Pagaden terbentang seluas 49,35 kilometer persegi—tak seluas Kalijati memang, tapi cukup luas untuk menampung ribuan cerita, dari langkah petani di pagi hari hingga suara anak-anak yang berlarian selepas sekolah.
Pagaden punya 10 desa, 85 RW, dan 274 RT.
Bayangkan saja, 274 RT! Kalau semua ketua RT berkumpul untuk musyawarah, bisa jadi butuh lapangan bola sebagai ruang rapatnya.
Dan di antara sepuluh desa itu, Gembor berdiri sebagai yang terluas, membentang sejauh 9,67 km²—tempat di mana hamparan hijau seolah tak pernah habis.
Menyusul Jabong dengan 6,87 km², lalu Sukamulya, Sumbersari, Gambarsari, Neglasari, Gunungsari, Gunungsembung, dan Pagaden sendiri yang menjadi jantung administratif kecamatan.
Sementara Kamarung menjadi si kecil yang gesit, hanya 1,95 km², tapi penuh kehidupan—ibarat halaman kecil yang selalu ramai oleh canda warga.
Berdasarkan data BPS, Pagaden dihuni oleh 59.831 jiwa dengan kepadatan sekitar 1.346 jiwa per kilometer persegi.
Penduduknya padat, tapi suasananya tetap akrab—barangkali karena hampir setiap orang di Pagaden masih hafal nama tetangganya sendiri.
Namun Pagaden bukan hanya angka dan tabel statistik. Ia adalah kisah tentang keseimbangan:
antara luas dan padat, antara sawah dan jalan raya, antara tradisi dan perubahan.
Di sini, kehidupan berjalan dengan irama yang wajar—tak tergesa, tapi pasti.
Mungkin itulah yang membuat Pagaden selalu menarik: bukan karena besarnya wilayah, tapi karena hangatnya manusia yang menempatinya.








