SUBANG – Di tengah riuh rendah Subang yang semakin ramai dengan beton dan bangunan menjulang, berdirilah sosok tua yang masih setia: Jembatan Jesse Park. Usianya? Sudah lebih dari delapan dekade! Tapi jangan salah, jembatan ini bukan sekadar tumpukan beton tua—dia saksi hidup yang diam-diam mencatat perjalanan kota dari masa ke masa.
Jembatan ini menghubungkan Jl. Wangsa Gofarana dengan Jl. Jendral A. Yani—dua jalur yang jadi urat nadi pergerakan warga Subang. Setiap hari, motor dan pejalan kaki melintasinya tanpa sadar mereka sedang berjalan di atas lembaran sejarah. Iya, sejarah—bukan sekadar cor-coran!
Kembali ke masa kolonial, Jesse Park adalah taman kota yang teduh dan asri, tempat warga Subang nongkrong santai sembari menatap air sungai Cipanggilingan yang mengalir tenang. Nah, jembatan ini dulunya adalah bagian dari kawasan taman itu. Kini taman tinggal kenangan, tapi jembatannya? Masih tegar berdiri, walau kondisinya bikin miris.
Salah satu elemen paling ikonik dari Jembatan Jesse Park adalah dua tiang lampu besi kuno. Masih kokoh berdiri, menantang zaman—seperti duo veteran yang enggan pensiun. Tiang-tiang ini dipercaya asli dari era awal pembangunan. Bukan cuma jadi penerang, tapi penjaga memori kota.
Sayangnya, kondisi di sekitar jembatan sekarang lebih mirip lokasi syuting film horor ketimbang destinasi sejarah. Jalan berlubang, genangan air setia hadir tiap hujan, dan semak belukar tumbuh bak hutan mini. Kalau jembatan ini bisa ngomong, mungkin dia sudah teriak, “Tolong aku, dong!”
Namun, harapan belum padam. Beberapa warga, terutama dari komunitas Paguyuban Sadulur Enhar, mulai bergerak. Mereka rajin bersih-bersih, mengecat ulang, dan mengajak warga peduli. “Jembatan Jesse Park bukan sekadar penghubung jalan, tapi penghubung antara masa lalu dan masa depan. Kalau kita biarkan rusak, berarti kita biarkan sejarah kita hilang,” ujar Pramono, salah satu warga dengan semangat membara.
Warga juga berharap pemerintah turun tangan, bukan hanya mengelus-elus rencana, tapi benar-benar memperbaiki jalan, merawat taman kota, dan menata aliran Kali Cipanggilingan agar kembali cantik dipandang mata.
Bayangkan jika kawasan Jesse Park ini disulap jadi destinasi wisata sejarah. Anak-anak bisa belajar sejarah, orang tua bisa nostalgia, dan Instagramers bisa… ya, foto-foto pastinya. Lengkapi dengan papan informasi, lampu yang proper, dan tempat duduk nyaman—boom! Jadilah taman sejarah kebanggaan Subang.
Toh, merawat Jembatan Jesse Park bukan cuma urusan infrastruktur. Ini soal merawat identitas. Soal menunjukkan bahwa Subang tak melupakan akarnya. Jangan biarkan jembatan berusia 80 tahun lebih ini pelan-pelan dilupakan. Jangan biarkan sejarah dibungkam semak liar dan jalan berlubang.
Sudah saatnya Subang menyapa kembali warisannya yang diam tapi berbicara banyak. Karena, hei… siapa lagi yang akan peduli kalau bukan kita?
Berita ini bersumber dari tintahijau.com dengan judul asli “Jembatan Jesse Park Subang, Saksi Bisu Sejarah Kota Subang Era Belanda yang Butuh Perhatian Serius”