MEDIAJABAR.COM, SUMEDANG – Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah berharap, Direktorat Jenderal Pajak segera bertindak cepat terhadap PT DFT Sumedang. Pasalnya, selain diduga mengambil air sekaligus menjualnya secara komersial tanpa izin, PT DFT juga diduga tidak membayar pajak selama delapan tahun.
“Ini pelanggaran berat, karena juga termasuk dugaan pengemplangan pajak. Direktorat Jenderal Pajak harus proaktif melakukan pemeriksaan. Apalagi dengan adanya PMK Menteri Keuangan yang baru, mereka harus cepat bertindak. Mereka wajib hadir dan menghitung langsung terkait dugaan pengemplangan pajak perusahaan di Sumedang itu,” tegas Trubus kepada media hari ini.
PT DFT memang diduga tidak membayar pajak atas aktivitas usahanya di bidang real estate dan penjualan air ke perusahaan-perusahaan besar. Dan menurut Trubus, sudah terang-benderang bahwa dugaan tersebut berpotensi merugikan pendapatan negara. Itu sebabnya, agar sejalan dengan misi Pemerintahan Joko Widodo dalam optimalisasi pajak, maka tak ada jalan lain, kecuali Ditjen Pajak harus melakukan pemeriksaan All Taxis kepada perusahaan tersebut.
“Karena memang berat. Ini jadi kategori perusahaan yang diduga melakukan pengemplangan pajak,” lanjutnya.
Selain itu, Trubus juga meminta kepada aparat penegak hukum (APH) untuk melakukan invstigasi forensik yang menyeluruh. Melalui upaya tesebut, akan diketahui seluruh rangkaian terkait dugaan pelanggaran perusahaan. Baik terkait dugaan pengemplangan pajak maupun terkait dugaan pengambilan air sekaligus penjualan secara komersial tanpa izin.
“Melalui investigasi forensik akan diketahui semuanya,” kata dia.
Dalam dugaan pengemplangan pajak, PT DFT diperkirakan tidak membayar pajak selama delapan tahun. Terkait hal itu, perusahaan ditengarai melanggar UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Pajak Pasal 38 (b). Secara garis besar, pasal tersebut menjelaskan, wajib pajak yang menyampaikan pemberitahuan (SPT Tahunan) tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pendapatan negara, akan dikenakan saksi denda paling sedikit satu kali jumlah pajak terutang, atau yang kurang dibayar dan paling banyak dua kali jumlah pajak terutang yang tidak dibayar atau kurang bayar. Atau, sanksi pidana kurangan paling singkat tiga bulan atau paling lama satu tahun.
Sementara terkait dugaan pengambilan air sekaligus penjualan kepada industri tanpa izin, Trubus sepakat bahwa aparat bisa merujuk pada UU Nomor 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air. Dalam Pasal 49 ayat (2) UU tersebut, misalnya, menyebut bahwa penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha harus memiliki izin. Jika tidak memiliki izin namun sengaja melakukan kegiatan seperti pasal 49 ayat (2), maka berdasarkan pasal 70 dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun. Selain itu, juga dikenakan denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp5 miliar.
Dalam kasus tersebut, perusahaan diduga merugikan keuangan negara. Besarnya potensi kehilangan pendapatan negara sendiri, bisa didasarkan atas data yang dikeluarkan PT DFT. Melalui situs perusahaan tersebut, tertulis bahwa debit pemakaian oleh sejumlah industri besar, adalah 4.896 m3 per hari. Dengan asumsi bahwa PT DFT menjual kepada konsumen Rp10.000/m3, maka dalam sehari dugaan kerugian sekitar Rp48juta. Artinya, dalam setahun, dugaan kerugian adalah 365 x Rp48 juta atau sekitar Rp17,5 miliar per tahun. Belum lagi dari sisi pajak yang tidak dibayarkan atas pemanfaatan air tersebut. (*)