SUBANG – Pernahkah terbayang bahwa buah nanas, yang kini mudah ditemukan di pasar tradisional, dulunya adalah simbol kemewahan yang hanya bisa dinikmati para bangsawan Inggris? Tak sekadar buah tropis, nanas pernah memiliki harga yang setara dengan sebuah kereta kuda lengkap dengan kudanya!
Ketika Nanas Jadi Lambang Status Sosial
Pada abad ke-17, nanas menjadi barang langka di Eropa. Karena bukan tanaman asli dan sulit dibudidayakan di iklim Inggris, buah ini menjadi simbol status sosial bagi kaum elit. Raja Charles II bahkan mengabadikan momen penerimaan nanas dalam sebuah lukisan karya Hendrick Danckerts pada tahun 1675.
Melansir CNN, Francesca Beauman, penulis The Pineapple: King of Fruits, menjelaskan bahwa para bangsawan rela membangun rumah kaca khusus atau pineries demi menanam nanas. Biayanya? Fantastis! Harga satu buah nanas bisa mencapai 80 pound sterling—jika disesuaikan dengan inflasi, setara dengan 15.000 dolar AS saat ini.
Namun, menariknya, nanas lebih sering dipajang sebagai dekorasi ketimbang dikonsumsi. Kaum elite bahkan menyewakannya hanya untuk dipamerkan di pesta sebelum akhirnya dikembalikan. “Nanas itu lebih seperti simbol kemewahan, seperti tas Gucci di zaman sekarang,” ujar Beauman.
Popularitas nanas pun merambah dunia seni dan arsitektur, menginspirasi berbagai bangunan bersejarah seperti menara barat Katedral St. Paul dan Dunmore Pineapple di Skotlandia. Bahkan dalam novel David Copperfield karya Charles Dickens, nanas masih dianggap sebagai barang mewah hingga abad ke-19.
Dari Simbol Kemewahan ke Ikon Subang
Kini, kejayaan nanas beralih ke Kabupaten Subang, yang dikenal sebagai penghasil nanas terbesar di Jawa Barat. Kabupaten ini resmi berdiri setelah memisahkan diri dari Purwakarta melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1950, yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1968.
Dengan produksi mencapai 167.413,67 ton pada tahun 2023, Subang telah menjelma sebagai “Kota Nanas.” Varietas unggulannya, Simadu, terkenal dengan rasa manis yang menyerupai madu, menjadikannya primadona di pasar buah nasional.
Keberhasilan perkebunan nanas tak hanya mendongkrak perekonomian Subang tetapi juga memperkuat identitas daerah. Kini, nanas tak lagi hanya milik bangsawan Inggris—di tangan para petani Subang, buah tropis ini menjadi kebanggaan dan sumber kesejahteraan.