Subang — Beras, si putih yang jadi makanan pokok, kini bikin was-was. Di wilayah Pantura, Subang, Jawa Barat, beras bukan cuma soal harga, tapi juga soal “asli atau palsu”. Maraknya peredaran beras oplosan tak hanya meresahkan warga, tapi juga memukul daya beli dan mengacaukan harga pasar.
Seperti yang dirasakan Wani’ah, ibu rumah tangga asal Pamanukan, yang kini harus lebih jeli dari detektif saat belanja beras di pasar.
“Saya sering membeli beras di pasar, saat ini tidak dapat membedakan antara beras oplosan dan bukan, sehingga takut jika yang dikonsumsi beras hasil oplosan,” keluhnya, Selasa (15/7).
Keresahan Wani’ah bukan tanpa alasan. Selain menurunkan kualitas pangan, beras oplosan dikhawatirkan berdampak pada kesehatan keluarga. Lebih runyam lagi, harga beras ikut naik, padahal kantong rakyat tak ikut membengkak.
Gugum Gumelar, pedagang beras di Pasar Pamanukan, ikut angkat suara. Menurutnya, isu beras oplosan membuat pembeli ragu dan penjualan menurun.
“Penjualan menurun, akibat daya beli masyarakat berkurang. Harga beras juga naik karena pasokan berkurang,” ujar Gugum.
Fakta di lapangan memang tak menggembirakan. Harga beras premium yang sebelumnya Rp13.500 per kg, kini naik menjadi Rp14.000. Sedangkan beras medium melesat dari Rp12.000 ke Rp13.500 per kg. Semua ini terjadi dalam waktu yang singkat—cepat naik, tapi lambat turunnya.
Baik pembeli maupun pedagang di Pasar Pamanukan sepakat: pemerintah harus bertindak cepat. Mereka mendesak agar pelaku pengoplos beras ditindak tegas, dan seluruh beras oplosan yang sudah beredar segera ditarik dari pasaran. Jangan sampai masyarakat terus dirugikan.
Karena kalau nasi sudah jadi bubur, yang dirugikan bukan hanya konsumen, tapi seluruh rantai ekonomi rakyat kecil. Jadi, mari pastikan, beras yang kita makan benar-benar beras, bukan hasil sulapan tangan-tangan nakal.