KOTASUBANG.com, Subang – Kisah Ba Eming sebagai tokoh perlawanan terhadap tirani pemerintah kolonial di Subang tahun 1913 terus menggelora. Setelah dilakukan diskusi pertama terkait tokoh Ba Eming ini beberapa waktu lalu di Saung Menak Padjadjaran Pagaden, diskusi kedua kembali dilaksanakan hari ini, Jumat (18/3/2022) di auditorium Museum Daerah Subang atau lebih dikenal dengan Wisma Karya, Subang. (Baca juga : Tak Banyak yang Tahu, Kisah Ba Eming Petani yang Melawan Kesewenangan Tuan Tanah di Subang)
Puluhan orang dari berbagai latar belakang antusias mengikuti jalannya diskusi, apalagi pada kesempatan tersebut dihadirkan para keturunan Ba Eming yang turut memberikan informasi terkait kiprah leluhurnya tersebut.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Subang, M. Khadar Hendarsah mengatakan, perlu dilakukan kajian lebih mendalam terkait sejarah Ba Eming.
“Ba Eming ini adalah tokoh perlawanan yang bisa ditetapkan menjadi salah satu pahlawan lokal. Untuk itu perlu kajian yang lebih mendalam. Dengan kajian itu bahkan mungkin bisa diangkat menjadi pahlawan nasional,” ujarnya.
Khadar menambahkan, sejarah itu dinamis. Jika ada temuan atau fakta sejarah baru maka sejarah bisa dirubah. Jika nanti hasil kajian semakin menguatkan kebenaran kisah Ba Eming maka sejarah Ba Eming harus masuk dalam riwayat perjalanan Subang.
Kepala UPTD Museum Daerah Subang, Hendrik mengungkapkan pihaknya sangat mendukung diangkatnya kisah perjuangan Ba Eming. Hal ini katanya tentu harus didahului dengan kajian.
“Jika fakta dan data hasil kajian sudah mencukupi tentu sejarah Ba Eming akan menjadi bagian dari koleksi museum daerah Subang,” tandasnya.
Dalam kesempatan tersebut 3 orang keturunan Ba Eming angkat bicara. Mereka menuturkan apa yang didengar dari orang tuanya langsung dan dari para tetangganya yang merupakan sesepuh kampung.
“Saya dengar dari cerita orang tua langsung dan dari tetangga, buyut kita dulu sangat berani, dan rada galak, pernah ditahan pemerintah belanda zaman kolonial dulu. Ba Eming Dipenjarakan ketika mengadung anak ketiga yaitu Mak Iyah. Dan keluar dari tahanan ketika anak yang dikandung sudah bisa lari-lari,” ujar Sutisna yang merupakan cucu dari anak pertamanya.
Cucunya yang lain Warma Paley mengungkapkan, menurut cerita yang didengar, Ba Eming berani melawan pemerintahan kolonial ketika itu karena ingin menurunkan cukai yang dinaikan pemerintah yang dinilai sangat memberatkan.
“Banyak terimakasih kepada semua pihak yang sudah mengangkat kisah orang tua kami, tentunya ini menjadi kebanggaan. Kami juga ingin melanjutkan perjuangan orang tua kami jaman dulu,”ujarnya.
Cucunya yang lain Rohedi mengatakan, pihaknya siap memberikan informasi yang dibutuhkan terkait kajian mengenai Ba Eming, karena tentu ini akan menjadi kebanggaan bagi keluarga. Dirinya juga mengapresiasi karena tokoh Ba Eming sudah diangkat oleh pemerintah dan berbagai pihak yang menyelenggarakan diskusi tersebut.
“Kalau menurut cerita Uyut Eming itu badannya tegap, putih, rambutnya panjang dan suka diikat atau digelung pakai semacam sisir. Uyut Eming tanahnya luas, nama sebenarnya adalah Daim,” katanya.
Eming sebenarnya nama anak pertamanya, dan kemudian setelah memiliki anak bernama Eming tersebut bah Daim lebih sering dipanggil Ba Eming.
Pamong budaya Disdikbud Subang Yayan Suryanata mengungkapkan Ba Eming merupakan satu nama yang sepi, tapi dalam catatan dapat dibaca peristiwa yang terjadi ketika itu begitu hingar bingar. Ketika itu kata dia, pemerintah kolonial membagi 3 kelas sosial yakni kelas satu yang adalah orang eropa dan yang dipersamakan kelas dua adalah oriental dan timur asing, dan kelas tiga adalah bumi putera. Ba Eming kemungkinan merupakan golongan kelas tiga, dan dia adalah contoh tokoh yang berani melawan kelas tersebut karena adanya ketidak adilan. Ke depan menurutnya pertentangan kelas tersebut masih akan ada.
“Dia adalah role model yang berani melawan kelas karena ada suatu ketidakadilan. Bagaimanapun kita harus bisa menghidupkan Ba Eming agar muncul visualisasinya,” ujarnya.
Anggi Agustian Junaedi penulis buku Inventarisasi Potensi Kesejarahan Lokal Subang mengatakan hampir 10 tahun tak ada pahlawan asal Jawa Barat yang ditetapkan pemerintah. Ba Eming dengan sejarahnya bisa saja jadi tokoh alternatif untuk diajukan menjadi pahlawan nasional.
“Alhamdulillah ketika ngobrol dengan pihak keluarga banyak yang diungkap. Apa yg dilakukan Ba Eming perlu diangkat dan dikaji lebih dalam. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan terkait ketohokan Ba Eming,” kata Anggi.
Menurutnya, ada nilai-nilai dari tokoh Ba Eming yang bisa diangkat ketika spirit nasionalisme di kalangan masyarakat Subang terasa semakin berkurang.
“Karakter Ba Eming yang pemberani dan memiliki inisiatif untuk berada di depan perlu digaungkan,” ujarnya.
Kiprah Bah Eming dapat ditelusuri dari aktivitas surat menyurat antara Kontrolir Subang (W.E. Rappard) dengan Asisten Residen Krawang (J.C. Bedding), J.C. Bedding dengan Residen Batavia (H. Rijfsnijder), dan H. Rijfsnijder dengan Gubernur Jendral (A.W.F. Idenburg) pada bulan Juli hingga September 1913. Adapun isi surat menyurat tersebut berkaitan dengan kekacauan yang terjadi di Tanah Partikelir Pamanoekan en Tjiassemlanden (P en T)