Subang – Subang lagi-lagi jadi sorotan, kali ini bukan karena festival, tapi karena seorang legenda hidup bernama Sutisna—atau yang lebih akrab kita panggil, Sule.
Ya, komedian yang wajah dan tawanya pernah menghiasi hampir setiap layar kaca Indonesia itu kini melangkah ke babak baru: membangun museum pribadinya sendiri di kampung halaman, Subang, Jawa Barat.
Namun jangan bayangkan museum ini penuh lukisan serius atau patung gagah.
Di sini, yang terpajang adalah kenangan-kenangan hidup seorang pelawak sejati—mulai dari properti syuting, kostum nyentrik, sampai deretan penghargaan yang dulu hanya bisa kita lihat sekilas di TV.
“Sekarang saya simpan barang-barang yang dulu pernah dipakai. Kayak satu set wayang, satu set gamelan, foto-foto zaman dulu di TV waktu saya jadi apa. Semua saya print dan taruh di museum,” kata Sule, seperti dikutip dari podcast di kanal YouTube Nanda Persada.
Menariknya, museum ini bukan hanya untuk dirinya sendiri.
Sule membuka pintunya lebar-lebar bagi publik.
Tujuannya sederhana tapi dalam — agar para penggemar dan masyarakat bisa mengenal lebih dekat perjalanan panjangnya di dunia hiburan.
“Saya punya satu joglo, dan di dindingnya dilukis semua program TV yang pernah saya mainkan — seperti Awas Ada Sule, Opera Van Java, sampai Canda Empire. Itu untuk mengenang karya-karya saya, buat anak-anak saya dan juga penggemar,” ungkapnya penuh nostalgia.
Sule tak sedang memamerkan masa lalu, tapi sedang mengarsipkan hidupnya sendiri dengan rasa bangga.
Museum itu adalah ruang waktu—tempat di mana tawa, kerja keras, dan air mata dikurasi dengan cinta seorang seniman.
“Kalau seniman agak sedikit idealis lah,” katanya sambil tersenyum, seolah ingin mengingatkan bahwa popularitas mungkin pudar, tapi karya yang tulus akan tetap hidup.
Langkah Sule ini jadi pengingat, bahwa menghargai perjalanan diri bukan bentuk kesombongan, tapi tanda dewasa dalam berkarya.
Dari panggung tawa ke rumah kenangan, Sule membuktikan bahwa seniman sejati bukan hanya melucu, tapi juga meninggalkan warisan makna di balik setiap tawa.








