Beranda Berita Subang Korupsi di Desa Sukatani: Air Galon Tak Nampak, Uang Ratusan Juta Menguap

Korupsi di Desa Sukatani: Air Galon Tak Nampak, Uang Ratusan Juta Menguap

korupsi dana desa Sukatani

Subang, Jawa Barat – Bayangkan Anda mengepel lantai sambil genting rumah bocor. Sia-sia, bukan? Begitulah kiranya potret pemberantasan korupsi di negeri tercinta ini: capek-capek bersih-bersih, tapi yang kotor malah terus bermunculan.

Fenomena ini tak hanya sekadar angin lalu, tapi sudah seperti semak berduri di setiap jengkal tanah birokrasi—dari ujung desa sampai gedung dewan, semua bisa kena sentuh. Dan kini, sorotan tajam diarahkan ke sebuah desa yang mungkin tak terkenal karena air galonnya, tapi justru geger karena air galonnya tak jadi-jadi, padahal dananya sudah puluhan juta.

Desa Sukatani, Kecamatan Compreng, Kabupaten Subang, seolah jadi panggung sandiwara anggaran. Dana desa, Banprov, sampai dana pokir (pokok pikiran) diduga lari entah ke mana. Yang jelas, inspektorat dan aparat penegak hukum tampaknya masih menunggu isyarat bintang jatuh.

Sebut saja program penyertaan modal BUMDes untuk produksi air isi ulang. Dana yang digelontorkan mencapai ratusan juta, tapi galonnya? Tak ada yang bisa diisi, kecuali pertanyaan: “Ke mana larinya uang itu?”

BACA JUGA:  Dedi Mulyadi Diserang Rocky Gerung, Balas dengan Sindiran Elegan dan Sikap Tenang

Dana Ketahanan Pangan tahun 2024 pun tak luput dari aroma tak sedap. Jalan Usaha Tani senilai Rp111 juta lebih diduga mengalami praktik markup. Katanya dibangun, tapi volumenya dikurangi. Materialnya? Tak sesuai spesifikasi. Upahnya? Katanya dinaikkan, tapi bukan untuk buruh.

Tak hanya soal jalan dan air galon, program stunting yang semestinya menyasar ibu hamil dan balita justru malah tersesat. “Realiasinya tidak jelas,” ujar sumber yang masih enggan disebutkan namanya. Entah nutrisi yang menguap, entah data yang ditiadakan.

Dana Banprov yang rutin diterima Rp130 juta per tahun selama lima tahun, dengan total sekitar Rp650 juta, disebut-sebut digunakan untuk rehab kantor desa dan GOR. Tapi hasilnya? Dinding ngelupas, cat kusam, seperti bangunan habis kehujanan lima tahun tanpa atap.

Masih ada lagi: dana Bandes dari pokir DPRD Subang tahun ini dikucurkan untuk rigid beton dan lapangan futsal. Hasil pantauan? Bangunan baru seumur jagung, sudah retak dan rusak. Rupanya yang dibangun bukan lapang futsal, tapi lapang hati warga yang kecewa.

BACA JUGA:  Geger Pagi Hari di Subang: Mayat Perempuan Muda Ditemukan di Saluran Irigasi

Ternyata tak hanya dana yang jadi lahan basah. Modusnya pun beragam. Mulai dari pungutan liar, nepotisme, hingga “tol-tol-an anggaran”. Sebelum dana turun, sudah harus setor “fee” kepada para petinggi dan orang dalam. Besarannya pun tak main-main: 10% sampai 30% dari pagu anggaran. “Fee” ini belum termasuk bagian yang harus diserahkan kepala desa kepada kroni-kroninya.

Fee adalah gratifikasi, dan gratifikasi adalah korupsi. Mata rantainya jelas, hanya siapa yang mau memotongnya?

Tak kalah serius, dugaan korupsi juga menyentuh gaji para kepala dusun. Konon, beberapa kadus memakai ijazah orang lain demi lolos rekrutmen. Ijazah atas nama Rahman, dipakai Dasman. Ijazah Rudi, entah kenapa berpindah ke Adih. Belum lagi kadus lain yang ijazahnya seperti puzzle—tak jelas milik siapa. Padahal aturannya jelas: minimal lulusan SLTA.

Kalau begitu, pengangkatan kadus bisa dianggap cacat hukum. Tapi anehnya, SK-nya tetap diteken, Camat juga ikut rekomendasi. “Ada apa sebenarnya?” tanya sumber dengan nada curiga. Ia bahkan menyarankan agar kasus ini dibawa ke PTUN.

BACA JUGA:  5 Kilo Sabu di Balik Daun Teh: Warisan Gemilang AKBP Ariek di Subang!

Tak cukup sampai situ, duit dari hasil sewa tanah desa seluas belasan bau—yang bisa mendatangkan Rp15–18 juta per tahun—diduga masuk ke kantong pribadi oknum. Tanpa lelang terbuka, tanpa laporan jelas. Aturan menyebut 70% untuk operasional desa dan 30% untuk tunjangan, tapi di lapangan, semuanya malah hilang tanpa sisa, kecuali bau amisnya.

Saat dikonfirmasi, Kades Sukatani, Abdurohman, bungkam. Surat konfirmasi yang dikirim sejak Oktober 2024 tak direspons. Rupanya, lebih mudah mengejar air galon tak kasat mata, daripada menunggu klarifikasi yang tak kunjung tiba.

Yadi Supriadi, Ketua LSM El-Bara Subang, menyayangkan dugaan praktik KKN di Desa Sukatani. “Ini pidana. Aparat tak perlu menunggu laporan, cukup data dan alat bukti,” tegasnya. Ia berjanji membawa perkara ini ke ranah hukum jika bukti sudah terkumpul.

Sementara itu, rakyat kecil hanya bisa mengelus dada, sambil bertanya-tanya: “Kalau semua dana sudah bocor, kita tinggal minum apa? Air galon yang tak pernah jadi?”