Beranda Berita Nasional Tragedi Kereta Api Bintaro 19 Oktober 1987, Kecelakaan Kereta Terparah di Indonesia

Tragedi Kereta Api Bintaro 19 Oktober 1987, Kecelakaan Kereta Terparah di Indonesia

KA-Bintaro-1.jpg

harapanrakyat.com,- Tragedi Kereta Api Bintaro I merupakan kecelakaan kereta api terparah di Indonesia. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 19 Oktober 1987, dan menyebabkan korban yang tidak sedikit.

Tak hanya itu, kecelakaan yang melibatkan dua kereta api ini juga menyebabkan ratusan orang mengalami luka berat akibat hantaman keras.

Kecelakaan ini terjadi akibat kekeliruan dari petugas kereta api yang sedang bertugas kala itu, hingga akhirnya menyebabkan bertabrakannya dua kereta.

Tentu tragedi tabrakan kereta api ini memberikan luka dan duka mendalam dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia, bahkan sampai hari ini.

Merangkum dari berbagai sumber, tulisan ini akan mengulas lebih mendalam tentang tragedi Kereta Bintaro sebagai kecelakaan kereta api terparah di Indonesia.

Tragedi Kereta Api Bintaro I, Catatan Kelam Perkeretaapian di Indonesia

Baca Juga: Sejarah Stasiun Kereta Padalarang, Pernah Dibom saat Invasi Jepang

Tragedi tabrakan kereta api yang terjadi pada tanggal 19 Oktober 1987 merupakan salah satu catatan sejarah kereta api di Indonesia yang cukup kelam.

Pasalnya, peristiwa tragis ini menimbulkan korban yang tak sedikit. Bahkan menjadi salah satu kenangan buruk bagi sebagian orang.

Singgih Aji Susilo dalam buku berjudul “Peristiwa Kereta Api Bintaro 1987: Analisis Human Error pada Kecelakaan” (2019), bahwa sebelum terjadinya kecelakaan, rentetan kesalahan sudah terlihat ketika keberangkatan KA 255 dari Stasiun Serpong ke Stasiun Sudirman.

Kereta Api 255 berangkat dari Stasiun Serpong setelah mengalami keterlambatan sekitar lima menit dari jadwal seharusnya.

PPKA Stasiun Serpong memberangkatkan KA 255 tanpa mengecek terlebih dahulu jika Stasiun Sudirman akan penuh bila KA 255 tiba. Celakanya, PPKA Sudirman juga menerima KA 225 dan memberikan warta aman ke PPKA Serpong, dengan antrian KA 255 boleh berangkat menuju Stasiun Sudirman.

Kesalahan fatal ini baru disadari oleh PPKA Sudirman bahwa tidak mungkin untuk menerima lagi kereta, karena tiga sepur di Stasiun Sudirman sudah terisi semua.

BACA JUGA:  Kronologis Lengkap Kecelakaan Truk Maut di Subang: Dua Tewas, Delapan Luka-luka

Satu sepur sudah terisi KA Batubara 1035, sedangkan yang satunya sudah terisi oleh tujuh rangkaian gerbong kosong.

Baca Juga: Mobil Tabrak Pohon di Tasikmalaya Akibat Sopir Ngantuk, Mau Injak Rem Malah Gas

Komunikasi Sempat Terputus

Komunikasi pun pada awalnya sempat putus dan membuat masing-masing pihak stasiun gagal dalam memahami pesan penting, hingga berakhir dengan kecelakaan.

Terdapat kemungkinan pula bahwa kedua masinis dari KA 225 dan KA 220 sebenarnya tidak mengetahui ada kereta api yang ada di depannya. Inilah yang membuat mereka baru sadar dan terlambat dalam menarik rem.

Faktor lainnya yang membuat masinis terlambat menyadarinya adalah berjubelnya penumpang yang ada, hingga membuat masinis gagal dalam memahami situasi.

Kecelakaan pun tak terelakkan, bagian depan kedua kereta hancur. Dua lokomotif masuk ke dalam gerbong pertama. Gerbong-gerbong yang ditarik oleh masing-masing lokomotif juga mengalami kerusakan yang sangat parah.

KA 225 Bertabrakan dengan KA 220

Dahsyatnya kerusakan yang timbul akibat kecelakaan ini membuat orang-orang yang berada di bagian depan kereta terjepit material hingga bisa membelah, bahkan meremukkan tulang.

Sebagian besar penumpang yang berada dalam gerbong depan mengalami luka serius, dan tak sedikit yang meninggal di tempat.

Baca Juga: Pembangunan Jalur Kereta Api Banjar-Parigi Terhenti 1912, Pengusaha Kopra dan Karet Merugi

Mengutip buku berjudul “Sejarah Kelam Kereta Api: Dua Kecelakaan Kereta di Bintaro” (2019), seketika daerah tempat terjadinya kecelakaan itu menjadi ramai.

Banyak orang yang datang dengan sukarela mencari alat apa saja untuk menolong korban bencana kereta api terbesar sepanjang sejarah perkeretaapian di Indonesia.

Bahkan menurut kesaksian orang-orang, pemandangan di sekitar lokasi tabrakan sungguh mirip dengan mimpi buruk yang tak pernah terbayangkan.

BACA JUGA:  Indonesia Tantang Bahrain di Laga Penentu Kualifikasi Piala Dunia 2026

Ketika itu KA 225 dari Rangkasbitung, Jawa Barat, membawa 700 penumpang, dan beradu kepala dengan KA 220 yang membawa 500-an penumpang dari Stasiun Tanah Abang.

Angka ini sebenarnya tidak sepenuhnya valid, mengingat tak terhitung jumlah penumpang yang berjejal, menempel pada bagian pinggir lokomotif hingga bertengger di atas gerbong-gerbong bercat hijau itu.

Sampai waktu tengah hari saja sudah lebih dari 100 orang yang meninggal dunia dan 300-an orang mengalami luka-luka ringan hingga berat.

Angka tersebut terus meningkat, mengingat masih ada korban-korban yang terjepit besi-besi kereta.

Untuk menampung para korban kecelakaan, terdapat tujuh rumah sakit yang waktu itu dimaksimalkan. Seperti RS Fatmawati, RS Setia Mitra, RS TNI-AL Mintohardjo, RS Pertamina, RS Pondok Indah, RS Jakarta dan RS Cipto Mangunkusumo.

Baca Juga: KAI Daop 2 Bandung Siapkan Kereta Api Feeder KCJB

Kecelakaan KA Paling Tragis

Tragedi Kereta Api Bintaro I sangatlah tragis. Darah berceceran hingga menggenang di beberapa tempat. Bahkan potongan tubuh berserakan, baik berupa tangan maupun kaki. Bau amis menyeruak dari darah-darah yang keluar dengan tangisan hingga jeritan para korban.

Tak terbayangkan bagaimana mencekamnya dan mengiris hati bagi siapa pun yang menyaksikan kejadian tersebut.

Dapat kita bayangkan jika kedua lokomotif itu seakan seperti ular menelan tikus yang membuat kondisinya sangat sulit untuk dijabarkan. Naasnya pula, kebanyakan para penumpang dari Rangkasbitung merupakan para pedagang kecil dan anak-anak sekolah.

Diketahui total dari jumlah korban yang tewas dalam tragedi Kereta Api Bintaro I itu mencapai 129 orang. Sedangkan, ada sekitar 254 orang yang mengalami luka berat.

Sanksi bagi Petugas Stasiun

Tragedi yang memilukkan itu pun membuat Slamet Suradio, masinis KA 225 ditahan oleh Polres Metro Jaya pada tanggal 4 Desember 1987. Slamet dianggap sebagai orang yang harus bertanggung jawab dalam kecelakaan yang merenggut banyak korban tersebut.

BACA JUGA:  7 Pondok Pesantren Terbaik dan Terbesar Di Subang 2024, Cek No. 4

Pada tanggal 28 Maret, Slamet Suradio mendapat hukuman 14 tahun penjara dengan ancaman pasal 194 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi, “Dengan Sengaja Menimbulkan Bahaya bagi Lalu Lintas Umum dengan Tenaga Uap, atau dengan Lain Kekuatan Penggerak Mekanis Melalui Jalan Kereta Api, Perbuatan Tersebut Menyebabkan Meninggalnya Seseorang”.

Baca Juga: Study Tour SMAN 3 Bandung Sewa Kereta, Berapa Harganya?

Namun, dalam perjalanan sidangnya, hasil keputusan final bahwa Slamet Suradio hanya mendapat hukuman 5 tahun setelah berbagai perkara yang meringankan hukumannya. Ia pun mulai masuk tahanan sejak 4 Desember 1987.

Selain itu, hukuman serupa juga dijatuhi kepada Adung Syafei yang menjadi Kondektur KA 225. Ia mendapat hukuman 1 tahun penjara.

Sedangkan, beberapa orang lainnya yang turut mendapatkan sanksi adalah PPKA Djamhari dan Umriyadi, masing-masing mendapat vonis 10 bulan penjara.

Masinis KA 225 Slamet Suradio Dipecat Tanpa dapat Pensiun

Setelah bebas dari penjara, Slamet Suradio dipecat dan tidak mendapatkan uang pensiun. Pasca pemecatan itu ia pun kembali ke kampung halamannya di Kabupaten Purworejo dan menjadi pedagang rokok.

Tragedi Kereta Bintaro I memang bukanlah murni kesalahan masinis yang bertugas, sehingga tidak bisa jika hanya menyalahkan pada satu pihak saja.

Masinis KA 225 hanya berpatokan pada arahan yang ia terima dari PPKA Sudirman. Kecelakaan ini terjadi karena lemahnya koordinasi dan kedisiplinan dalam aturan-aturan yang ada.

Hingga hari ini Tragedi Kereta Api Bintaro I masih menjadi pembelajaran mengenai pentingnya menerapkan aturan-aturan dan kedisiplinan.

Tak hanya bagi petugas, melainkan juga bagi para penumpang. Sehingga bisa dengan mudah menghindari kesalahan dan human error. (Azi/R3/HR-Online/Editor: Eva)