Beranda Berita Nasional Sejumlah Organisasi Profesi Guru Tolak Rencana Aturan Kampanye di Sekolah

Sejumlah Organisasi Profesi Guru Tolak Rencana Aturan Kampanye di Sekolah

Kampanye-di-Sekolah.jpg

Sejumlah organisasi profesi guru menyatakan dukungan terhadap rencana peraturan KPU terkait pembatasan kampanye hanya di lingkungan perguruan tinggi.

Beberapa organisasi guru tersebut seperti PGRI, FSGI, P2G, dan IGI dalam sebuah webinar yang bertema “Kampanye Pemilu di Sekolah: Pandangan Guru” yang diadakan oleh Yayasan Cahaya Guru, Selasa (5/9/23) kemarin secara daring.

Dalam webinar tersebut, mereka sepakat bahwa kampanye di tingkat pendidikan dasar dan menengah dapat berdampak negatif pada anak-anak dan juga pada keragaman lingkungan sekolah.

Bahaya Kampanye di Sekolah

Muhammad Mukhlisin, Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru menyatakan dukungannya terhadap Rancangan Peraturan KPU tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum yang diumumkan pada tanggal 4 September 2023.

Baca juga: Duh, 80 Persen Bacaleg di Kabupaten Tasikmalaya Belum Lengkap Administrasi

Dalam rancangan peraturan tersebut, KPU mengklasifikasikan tempat pendidikan yang dimaksud sebagai perguruan tinggi, termasuk universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik, akademi, dan akademi komunitas.

Ia berharap agar rencana peraturan KPU ini mendapat persetujuan dengan mempertimbangkan pandangan para pendidik. Apalagi mereka telah berusaha keras untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif.

BACA JUGA:  PNS vs ASN Ternyata Beda, Jangan Keliru Ya!

“Kampanye di sekolah tidak perlu, karena pemilu masih bisa berlangsung damai tanpa mengganggu upaya pendidik yang berdedikasi mengajar murid-murid,” tegasnya.

Menurut Mukhlisin, kampanye pemilu di sekolah dan madrasah memiliki potensi gangguan dan dampak negatif pada keragaman lingkungan sekolah.

Sebagian besar murid, lanjutnya, juga belum memiliki hak pilih. Hal itu berbeda dengan mahasiswa di perguruan tinggi yang telah mencapai kedewasaan politik dan memiliki hak pilih.

Berdasarkan catatan pemilu sebelumnya, kata Mukhlisin, terdapat kasus pelanggaran hukum yang melibatkan guru sebagai aparatur sipil negara (ASN) yang terlibat dalam kampanye di sekolah, seperti kasus yang terjadi di sebuah SMP di Jakarta Barat pada tahun 2018.

Selain itu, terdapat juga kasus guru yang terlibat dalam penyebaran berita palsu pada pemilu tahun 2019.

“Kami sangat khawatir jika tahapan pemilu itu berlangsung di lingkungan sekolah,” tandasnya.

Penolakan Putusan MK 

Sementara itu, Rizal Lubis, Kepsek SDIT Ajimutu Global Insani Bekasi juga berpendapat sama. Ia menilai kampanye di sekolah dapat menimbulkan risiko dan mengganggu hubungan antara murid, orang tua, guru, dan yayasan pendidikan.

BACA JUGA:  Mungkinkah Indonesia Menjadi Kejutan di Kualifikasi Piala Dunia FIFA 2026?

Karena itu, ia harap pembuat kebijakan dapat mengunjungi sekolah secara langsung untuk melihat kondisi di lapangan.

“Sekolah telah aktif mengajarkan nilai-nilai demokrasi yang substansial melalui pembelajaran dan praktik berdemokrasi di kelas, cukup itu saja,” katanya.

Kabid Advokasi Guru dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri menegaskan penolakannya terhadap putusan MK yang memungkinkan penggunaan tempat pendidikan sebagai tempat kampanye.

Pasalnya, kata Iman, kampanye di sekolah dan madrasah dapat membawa bahaya serta tidak memberikan pendidikan politik yang benar, mengingat adanya potensi relasi kuasa yang terlibat.

“Kampanye di sekolah itu bahaya sekali, karena tidak mendidik secara politik. Apalagi di dalamnya terdapat relasi kuasa,” ujarnya.

KPU Harus Rinci Mengatur Aturan Kampanye

Sementara itu, Ahmad Kamaludin, Direktur Pusat Advokasi dan Perlindungan Profesi Guru dari Ikatan Guru Indonesia (IGI) menegaskan pihaknya menjunjung tinggi netralitas dan tidak mendukung kandidat atau partai politik mana pun.

Oleh karena itu, ia berharap KPU dapat mengatur dengan lebih rinci pelaksanaan kampanye di sekolah.

“Organisasi profesi guru harus menjaga netralitas sesuai dengan aturan AD/ART mereka. Kita khawatir kampanye di sekolah dapat memunculkan fanatisme terhadap salah satu calon. Bahkan dapat menyebabkan bentrokan antara sekolah yang berbeda dukungan,” ucapnya.

BACA JUGA:  Rumah Nenek Satinah di Subang Terancam Ambruk, Relawan Harap Ada Donatur yang Peduli

Sedangkan menurut Mansur, Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), pihaknya kecewa terhadap keputusan MK yang memungkinkan kampanye di sekolah.

Meski begitu, pihaknya menyadari bahwa keputusan tersebut bersifat final dan mengikat.

“Makanya kami merekomendasikan kepada KPU untuk mengatur dengan lebih rinci, dengan memberikan penekanan pada nilai-nilai pendidikan. Kita juga menyarankan kepada guru-guru dan kepala sekolah yang merupakan anggota mereka untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut,” kata Mansur.

Endang Yuliastuti perwakilan PB PGRI juga memastikan bahwa semua sekolah harus tetap netral dalam pemilu.

Menurutnya, PGRI telah menjalin kerjasama dengan berbagai pihak untuk mencegah pemilu ini mengganggu dunia pendidikan.

“Kita sudah melakukan kontak informal dengan KPU dan Kemendagri untuk memastikan bahwa sekolah tetap netral dan untuk menghindari keterlibatan siswa di bawah usia 17 tahun dalam tahapan pemilu. Bahkan, kita sudah menjalin kesepakatan dengan pihak kepolisian,” pungkasnya. (R6/HR-Online/Editor: Muhafid)