harapanrakyat.com,- PBH Anti Korupsi Jabar, menyoroti dinamika yang terjadi di tubuh Pemerintah Kabupaten Bandung, dengan adanya dugaan tindak pidana korupsi yang semakin panas dan meruncing.
Hal itu terkait revitalisasi Pasar Banjaran yang menimbulkan banyak pertanyaan publik, karena terkesan dipaksakan harus swastanisasi.
Terlebih pedagang pasar merasa keberatan lantaran sebagian dari mereka menilai kondisi ekonomi saat ini kurang stabil, sedangkan harga jongko mahal.
“Mengenai revitalisasi Pasar Banjaran, kenapa jadi begitu banyak pertanyaan serta terkesan dipaksakan harus dengan swasta. Kalau memang tidak ada APBD mustahil itu. Bayangkan, Silpa atau sisa APBD Kabupaten Bandung tahun 2022 yang tidak terserap kurang lebih Rp 700 miliar,” kata Ketua PBH Anti Korupsi Jabar, Piar Pratama, Sabtu (17/06/2023).
Lanjutnya mengatakan, mengenai revitalisasi Pasar Banjaran, jika memang salah satu dasar hukum Pemkab Bandung adalah Permendagri Nomor 19 Tahun 2019.
Dalam aturan tersebut tidak menyebutkan adanya ketentuan harus ada persetujuan DPRD pada kebijakan pemda dengan pihak ketiga.
PBH Anti Korupsi Jabar Ingatkan soal PP RI No 8/2018
Baca Juga: KPK Cegah Plh Wali Kota Bandung Bepergian ke Luar Negeri
Namun perlu diingat, di atas Permendagri itu ada Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 8 Tahun 2018 yang menjelaskan bahwa, proses kerjasama daerah dengan pihak ketiga salah satu tahapannya harus ada persetujuan DPRD.
“Nah, yang jadi masalahnya, ini syarat dengan adanya benturan kepentingan. Karena seharusnya Pemerintah Kabupaten Bandung menjelaskan secara detail mengapa harus swasta. Apakah tidak ada APBD, terus urgensinya apa terkesan seperti ingin cepat,” ujar Piar.
Ia juga menegaskan, masyarakat pedagang merasa keberatan itu bukan menolak perbaikan pasar, hanya saja mereka menyayangkan kenapa harus swastanisasi.
Pemerintah kabupaten seharusnya peka terhadap keluh kesah para pedagang dan menanyakan apa yang membuat mereka merasa keberatan.
Pihaknya juga berharap perusahaan atau pihak ketiga jangan merasa memiliki karena sebagai pengelola. Selain itu, jangan bertindak arogansi, baik pemkab maupun perusahaan pengelola.
“Harusnya permasalahan ini diselesaikan menggunakan akal sehat dan nurani, bukan dengan emosional. Sangat sedih bila harus terjadi benturan rakyat dengan rakyat dan juga aparat,” katanya.
Menurut Piar, ruang dialog secara transparan harus benar-benar dibuka secara transparan. Jangan sampai dimanfaatkan oleh muatan-muatan politik terselubung.
Baca Juga: Dugaan Kasus Gratifikasi Bupati Bandung Berlanjut, PBH Anti Korupsi Jabar Bawa Dokumen Tambahan
Proyek Bancakan
Kini publik menyorot tajam terhadap apa yang terjadi di Kabupaten Bandung. Apalagi dengan adanya dugaan korupsi gratifikasi yang berhubungan dengan proyek revitalisasi Pasar Banjaran.
Lanjut Piar, sekarang yang menjadi perhatian publik bukan hanya soal Pasar Banjaran, atau iuran forum camat dan gratifikasi lainnya. Namun, ada hal lain yang sontak membuat publik kaget, yakni ada proyek “bancakan” untuk koalisi pengusung bupati sebesar Rp 30 miliar lebih.
“Bahkan yang bikin mencengangkan lagi proyek tersebut adalah bancakan jatah proyek penunjukan langsung pada Dinas PUTR Kabupaten Bandung dan Disperkimtan. Ternyata oknum-oknum DPRD tersebut berperan juga menjadi pemain proyek,” ujar Piar.
Ia pun menegaskan, hal tersebut sudah jelas melanggar dan termasuk perbuatan hukum. Karena bukan berdasarkan aspirasi maupun epokir, tapi lebih ke arah terselubung.
Gratifikasi Suap yang Terselubung
Piar menyebutkan, perbuatan demikian itu termasuk perbuatan hukum jika merujuk pada pasal 12B UU Nomor 20/2001, tentang Perubahan atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
“Karena gratifikasi pada dasarnya adalah suap yang tertunda, atau sering juga disebut suap terselubung. Jadi, secara fakta dan kenyataan juga jelas, Bupati dan DPRD sebagai pejabat penyelenggara negara atau pemerintahan tidak boleh bermain proyek,” terangnya.
Piar pun menjelaskan bahwa hal itu sesuai dengan pasal 12 huruf i UU Nomor 31/1999 jo UU Nomor 20/2001. Apa yang pihaknya sampaikan bukanlah data main-main atau hanya omong kosong. Jadi, tidak mungkin konyol dan tidak mungkin fitnah atau hoaks.
Ia kembali menegaskan, jika dirunut ternyata permainan oknum DPRD Kabupaten Bandung tentang jadi pemain proyek ini datanya benar-benar A1. Apa lagi jatah koalisi pada tahun 2022 itu sebesar Rp 29,5 miliar, dan tahun 2023 sebesar Rp 13 miliar.
“Itu baru dari Dinas PUTR Kabupaten Bandung saja, belum dinas lainnya. Data KPK Jabar ini keren lantaran punya data rinci dan sangat valid. Jadi sulit bagi bupati maupun dinas dan para oknum DPRD untuk mengelak. Tentu hal tersebut membuat langkah aparat penegak hukum, baik KPK, polisi dan kejaksaan sangat mudah masuk memeriksa kasus ini,” pungkas Piar. (Tim HR/R3/HR-Online/Editor: Eva)