Pada tanggal 22 Juni 1949 beberapa surat kabar Nasional mewartakan kerusuhan yang dilakukan oleh kelompok separatis di Ciamis, Jawa Barat.
Peristiwa tersebut menggegerkan publik karena salah satu yang menjadi korbannya adalah seorang pamong pradja berpangkat wedana di Manonjaya.
Gerakan separatis di Ciamis membuat banyak warga trauma. Mereka bahkan pergi mengungsi ke daerah-daerah aman di sekitar Cigugur–Pangandaran.
Daerah Ciamis mendadak jadi basis kerusuhan gerombolan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) sampai tahun 1950-an.
Pelaku kekerasan tersebut tengah berjuang melawan pemerintah republik Indonesia untuk menciptakan kemerdekaan. Konon jika revolusi DI/TII ini terwujud, maka daerah Priangan Timur khususnya Ciamis-Tasikmalaya akan jadi pusat pemerintahan mereka.
Lantas bagaimana gerombolan DI/TII itu berjuang melawan pemerintah republik di daerah Ciamis, berapa jumlah korban yang ditembaki oleh mereka, serta dengan cara apa pemerintah republik meringkus semua pelaku kriminal tersebut?
Baca Juga: Pemberontakan DI/TII Tahun 1949 di Ciamis, Ajengan Diculik dan Dibantai
Sejarah Kerusuhan Separatis di Ciamis dan Tewasnya Wedana Manonjaya Dibunuh Gerombolan DI/TII
Melansir surat kabar Sedar yang terbit pada tanggal 24 Juni 1949 bertajuk, “Kegentingan di Daerah Pasoendan: Beberapa Penggawe Pamong Pradja Diboenoeh”, menyebut gerombolan DI/TII telah merenggut beberapa nyawa pegawai pemerintah di Ciamis, salah satunya adalah Wedana Manonjaya bernama R. Iswari Subiadipradja.
Wedana Manonjaya tewas kena sabetan benda tajam disertai beberapa peluru laras panjang karena tengah mempertahankan kedaulatan rakyat. Ia menjadi pemimpin masyarakat Manonjaya menolak bergabung dengan DI/TII tahun 1949.
Namun karena pihak gerombolan yang sentimental dan temperamental, maka perkelahian di antara warga serta para pejabat daerah pun meletus di kantor kawedanan Manonjaya. Akibatnya sebagian rakyat terluka dan beberapa nama pamong pradja lain ikut jadi korbannya.
Adapun beberapa nama yang bernasib sama dengan Wedana Manonjaya antara lain terdiri dari, Asisten Wedana Cibeureum R. Sadikin dan Agen Kepolisian di perbatasan Ciamis-Tasik bernama Engkon. Mereka adalah nama-nama yang menjadi korban keganasan gerombolan DI/TII dari golongan pemerintah.
Konon korban kerusuhan separatis di Ciamis yang dibunuh oleh gerombolan, selain ditembak dan disabet oleh pedang, beberapa luka bocos akibat benda tumpul juga ditemukan di beberapa area tubuh. Tapi yang lebih parah ada di bagian kepala.
Baca Juga: Sejarah Proklamasi Darul Islam 1949, Tasikmalaya dan Ciamis Diancam Komandan TII
Gerombolan DI/TII Anti Pemerintah, Mereka Anggap Pamong Pradja Pembangkang
Gerombolan DI/TII menyatakan anti pada pemerintah dan menganggap pamong pradja sebagai pembangkang karena motif separatisme. Mereka ingin menceraikan persatuan bangsa dengan mendirikan konsep negara baru di luar ideologi Pancasila.
Oleh sebab itu musuh utama gerombolan DI/TII adalah pemerintah dan para jajarannya di daerah-daerah. Apalagi pemerintah yang tidak setuju dan mengeluarkan beberapa pernyataan perang melawan gerombolan tersebut. Dengan senang hati, kelompok DI/TII akan menyerangnya dari berbagai peluang.
Sikap keras ini tercermin pada peristiwa kerusuhan di Ciamis tahun 1949. Gerombolan DI/TII menyerang pemerintah dan tak segan menghabisi mereka di depan khalayak umum. Hal ini dilakukan agar mereka bisa memberikan pengaruh yang menstigmatisasi pemerintah republik sebagai sarang kedustaan.
Pengaruh ini terus disampaikan oleh gerombolan DI/TII untuk mencitrakan kelompoknya lebih baik dari pada pemerintah republik.
Kerusuhan separatis di Ciamis tersebut dianggap para pengamat sejarah sebagai upaya DI/TII menunjukan eksistensi yang berasal dari sakit hati. Sebab pada intinya DI/TII muncul dari barisan yang ditinggalkan republik ini.
Baca Juga: Sejarah Batalyon Jago, Penumpas Gerombolan DI/TII di Kota Banjar
Ajengan dan Santri Penolak DI/TII Ikut jadi Korbannya
Gerombolan DI/TII juga membantai kelompok Ajengan (Pemuka Agama Islam di Jawa Barat) dan santri yang menolak gagasan DI/TII.
Ketika kerusuhan DI/TII di Ciamis meletus banyak korban yang berasal dari kalangan Ajengan.
Beberapa Ajengan yang menjadi korban sebagaimana dikutip dari koran Sedar (1949) adalah pemimpin pondok pesantren di Ciamis yaitu, (1) Ajengan Abdul Hamid, (2) Ajengan Saad Uddin, (3) Ajengan Zaenal Arifin, dan (4) Ajengan Zaenal Muttakin.
Mereka semua menjadi korban DI/TII karena menolak menjadi bagian dari gerakan separatis. Para Ajengan yang jadi korban di atas rela mempertaruhkannya nyawanya demi menjaga persatuan NKRI. Begitupun dengan para santri-santri, mereka rela jadi tumbal DI/TII untuk melindungi guru-gurunya.
Kerusuhan separatis yang digawangi gerombolan DI/RII ini menjadi salah satu kejadian bersejarah yang membuat sebagian penduduk di Ciamis trauma hingga saat ini.
Mereka takut kejadian ini terulang kembali, apalagi bagi mereka yang dahulu ibu, ayah, dan saudara-saudaranya menjadi korban langsung kekerasan DI/TII tahun 1949. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)